Tidak heran jika artis dan industri kreatif berebut untuk tinggal di kota seperti Los Angeles, New York dan London. Kota-kota tersebut adalah kota-kota hebat. Tetapi meski hanya memiliki populasi 120.000 orang, Reykjavik, ibukota Islandia dapat menghasilkan musisi sukses secara global seperti Björk, Sugarcubes, Mugison, Múm, dan Sigur Rós.
Apa rahasianya?
Di Music Cities Convention 2016, saya bertemu dengan Bjorn Blondal. Dia adalah basis HAM, band rock Islandia yang eksis di akhir 80-an hingga awal 90-an dan berkumpul lagi di tahun 2001 hingga sekarang. Selain musisi, Bjorn sekarang adalah Wakil Wali Kota Reykjavik. Ketika saya menyapa dan mengenalkan diri, dia langsung mengenali karena saya jadi pembicara di panel sebelumnya dan berkata, “Saya tahu Indonesia dari Mezzoforte (sebuah band instrumental jazz-funk fusion yang besar di tahun 80-an), karena mayoritas penggemarnya berasal dari Indonesia”.
Agak kaget juga dengarnya karena tidak menyangka. Tapi ya saya senang aja ada berita bagus dari Indonesia yang berhubungan dengan musik, apalagi ketika sedang networking di luar negeri mencari kenalan baru. Biasanya obrolan jadi lancar. Kami sempat ngobrol panjang lebar sambil berjalan menuju bar untuk after party, tentang apa yang terjadi di skena musik ibukota negara unik yang hanya berpenduduk 300.000 orang tersebut.
Karena Bjorn juga musisi, dia tahu persis apa yang dibutuhkan oleh skena musik untuk bisa berkembang di kotanya, dan apa keuntungan yang didapat kota dari skena musik yang kuat. Dia pun menyarankan agar tidak semua yang berhubungan dengan musik dikuantifikasi, karena tidak semua bisa dipertanggungjawabkan (secara kuantitatif). Tetapi memang dibutuhkan banyak orang dari seni dan budaya yang mau ikut terjun ke dunia politik dan mengubah keadaan.
Industri Kreatif di negara Nordic
Di negara-negara Nordic, yang merupakan tetangga terdekat Islandia, industri kreatif sudah memiliki peta yang jelas:
1. Industri kreatif di Swedia menghasilkan 5% dari GDP dan mempekerjakan 280.000 penduduk di negara supermaju tersebut.
2. Di Denmark, sektor disain, fashion, film dan musik mengandalkan ekspor karena konsumen industri kreatif negara tersebut kebanyakan justru di luar negeri.
3. Di Norwegia, industri kreatif menghasilkan 3,5% dari total GDP.
4. Sementara itu di Finlandia, nilai yang dihasilkan mencapai 1,5% GDP atau EUR 7 miliar.
Islandia sendiri membuat laporan tentang industri kreatif pada tahun 2011 yang diberi judul “Towards Creative Iceland: building local, going global“.
Festival dan Penjualan Musik di Islandia
Reykjavík adalah ibukota pelabuhan, yang mendapat banyak kesulitan pengaturan logistik karena lokasinya yang terpencil. Kota yang merupakan ibukota negara yang berada di paling utara bumi tersebut (ke arah utara sudah hampir tidak ada kehidupan lagi) dikenal minim pengembangan urban dan memiliki skena musik yang kuat.
Ada hubungan yang sangat dekat antar pelaku musik di sana dan mereka sangat perduli akan pasar internasional. Ini juga dimungkinkan karena penetrasi internet yang mencapai 97%, paling tinggi di dunia.
Meski negaranya kecil, tapi Islandia memiliki festival musik yang masuk ke jajaran elit festival musik dunia yaitu Airwaves Festival. Saat penjualan musik rekaman turun di seluruh penjuru dunia, tidak terjadi di Islandia. Bahkan saat terkena krisis finansial tahun 2008 pun penjualan album musik tidak terpengaruh.
Ingin Berbeda
Kota kecil biasanya dinilai tidak layak menjadi tempat ideal untuk berkembangnya musisi yang unik. Keragaman dan kreatifitas selalu disambungkan sebagai penyebab berkembangnya skena musik di kota-kota hebat di dunia. Tapi keadaan di Reykjavik memberikan nuansa baru terhadap konsep kota kreatif. Reykjavik memang kota kecil, tapi bukan desa. Kota itu adalah kota modern yang sangat kompetitif yang mayoritas warganya fasih berinternet. Hanya ada 1 jalan utama yang berfungsi sebagai hub kreatif. Di jalan itu pula semua venue musik berada.
Studio latihan pun hanya sedikit. Tetapi hal ini malah tidak menghasilkan produksi dan sound yang standar dan mirip satu sama lain. Bahkan, ini menyebabkan musisi semakin ingin untuk mengembangkan musik yang berbeda dan ingin tampil orisinil. Menurut band di Islandia, sangat penting untuk menjadi orisinil dan inovatif. Makanya hasilnya, band Islandia banyak yang unik.
Kelebihan dan Kekurangan Skena Musik di Kota Kecil
Di kota besar, musisi cenderung berkumpul dengan skena yang isinya musisi dari gaya musik yang mirip. Tapi ini sangat mustahil terjadi di kota kecil seperti Reykjavik. Tentunya ada subkultur juga di sana, tapi karena biasanya hanya sedikit, maka kebanyakan musisi harus terbuka untuk bergaul dengan orang-orang dengan gaya musik yang lain.
Kebanyakan musisi Islandia bergabung dengan lebih dari 1 band. Dan bisa jadi ini adalah salah satu penyebab mereka menjadi terbuka akan gaya musik lain. Pada saat yang sama, mereka belajar banyak dari musisi yang berbeda.
Pertemanan cenderung menabrak batas genre musik, karena mereka harus bekerja sama dengan musisi lain, agar mereka dapat meminjam instrumen untuk berlatih dan berbagi studio latihan.
Kedekatan ini juga memiliki ekses negatif. Karena mereka dekat, kebanyakan dari mereka menolak untuk mengkritik musisi lain.
Mengoptimalkan Keterbatasan
Jika bicara soal sejarah musik Islandia, maka keterbatasan selalu menjadi bagian dari percakapan. Jaman dahulu, dalam jangka waktu yang sangat lama, sangat sulit menemukan instrumen seperti piano atau biola di sana. Banyak yang mencoba mengimpor organ dan instrumen lainnya, tapi cepat rusak karena tidak cocok dengan iklim di Islandia. Karena sulitnya instrumen, maka dari itu, akhirnya suara manusia (vokal) yang menjadi instrumen utama musik Islandia.
Semua kota di Islandia memiliki kelompok koor, yang memberikan dampak yang sangat besar terhadap kehidupan sosial di sana. Jadi, sangat natural untuk orang Islandia yang cakap bernyanyi. Fakta ini selalu dikaitkan dengan sejarah industri kreatif di sana.
Kemampuan orang Islandia untuk mengoptimalkan keterbatasan juga berarti mereka mengadopsi perilaku “Do It Yourself” dari gerakan punk. Punk sangat berpengaruh dan sangat cocok dengan mentalitas Islandia. Bahkan hingga saat ini, tidak ada representasi major label di Islandia. Hanya ada label independen.
Mentalitas Punk Menghadapi Krisis Ekonomi
Mentalitas ini secara langsung maupun tidak langsung juga menolong skena musik Islandia melewati masa-masa negaranya kena krisis keuangan. Banyak musisi muda di sana melampiaskan kemarahan terhadap bank dan politisi sebagai katalis unutk menciptakan musik baru.
Bjorn dan partainya juga produk dari krisis finansial. Dia dan teman-temannya membuat partai, yang akhirnya menang pemilu karena didukung anak muda yang sudah muak dengan sistem lama. Menurut Bjorn, dari krisis finansial, negara itu bahkan sekarang berkembang dengan sangat cepat. Bahkan terlalu cepat sampai-sampai muncul pertanyaan apakah pemerintah dan masyarakat Islandia mampu mengelolanya.
One thought on “Kota sebagai Superstar Musik; Pelajaran dari Reykjavik”