Menguangkan Hak Cipta Musik

Musik-Tempo

Setelah membahas Hak Cipta di Musik Tempo 1, maka diskusi pun berlanjut menyoal bagaimana menguangkan hak cipta tersebut. Tanggal 25 Maret lalu, saya memimpin diskusi dengan narasumber Irfan Aulia, founder band Samsons dan Massive Music, sebuah perusahaan Music Publishing di Indonesia. Turut hadir di atas panggung pasangan EndahnRhesa. Di malam yang serius dan brilian itu dibahas berbagai macam cara dan upaya yang bisa dilakukan untuk memaksimalkan hak cipta yang sudah dimiliki oleh penulis lagu.

Pemasukan “B2B”

Saya sendiri punya pengalaman mengikuti seminar yang berhubungan dengan hak cipta. Waktu kunjungan ke Inggris, di hari kedua, staff ahli British Council memberi presentasi tentang industri di negara pengekspor musik kedua terbesar di dunia tersebut. Di dalam presentasi, ada slide yang memberikan komposisi penghasilan industri musik di sana, yaitu:

  1. Records sales £1,3 milyar.
  2. Live Music £1,6 milyar.
  3. B2B £1 milyar, dan
  4. Digital £400 juta.

Karena tidak melihat praktek tersebut di Indonesia, saya jadi sangat tertarik dengan pemasukan B2B. Karena berarti, jika berjalan, ada keran baru penghasilan industri musik. Saya pastikan dulu bahwa itu adalah royalty collection yang dilakukan oleh CMO. Dan ternyata benar. Takjub dengan angka tersebut, saya mengikuti seminar “Maximising Music Rights” beberapa hari kemudian di The Great Escape festival untuk sedikit lebih memperdalam. Saya ingat sekali, kalau seminar tersebut dikunjungi sedikit peminat. Saya bahkan sempat diskusi sambil bercanda dengan salah satu staff British Council, “Ini seminar tentang bagaimana mencari uang dari hak cipta, kok sepi. Kirain bakal banyak musisi ngantri”.

Tapi memang iya. Malam itu di Birdcage cafe juga tidak terlalu ramai. Ada beberapa faktor penghalang juga seperti hujan yang tidak berhenti turun, macet di banyak bagian kota Jakarta karena daerah Senayan macet total karena ada konser One Direction. Tapi salah satu teman saya pemerhati musik pun urung datang karena menurutnya topik ini “tidak disukainya”.

Saya pribadi menganggap ini memang salah satu bagian paling membosankan dari bisnis musik. Bahkan lebih membosankan daripada akunting dan keuangan di sekolah bisnis. Tapi inilah sebenarnya inti dari bisnis musik dan membedakannya dari bisnis lain, yaitu adanya hak cipta yang bisa diuangkan. Dan dengan ternyata, banyak cara untuk menguangkannya.

Music Publishing

Pada dasarnya Music Publisher (MP) adalah pihak yang mengekploitasi hak cipta. Caranya, dimulai dengan membuat hak cipta menjadi fiksasi (misalnya jadi format not balok tercetak, atau lagu), kemudian diterbitkan kepada publik. Tanpa langkah ini, hak cipta tidak bisa diuangkan.

Hak (rights) yang dikelola oleh MP adalah (silahkan Google masing-masing hak di bawah ini untuk mengetahui artinya):

  • Mechanical rights.
  • Sampling rights.
  • Print rights.
  • Grant rights.
  • dan Synchronisation rights.

Kelima hak tersebut bisa dikelola sendiri oleh artis (berarti self-published), tapi tentunya rumit untuk dikelola karena permasalahan dan administrasi yang timbul cukup merepotkan. Karena itu pula, mengurusi publishing berarti memerlukan sumber daya yang cukup dan kompeten untuk mengeksploitasi semua hak tersebut sehingga hak cipta bisa optimal secara komersial.

Di era ekonomi musik mulai beralih dari ekonomi Corporat ke ekonomi Creator (debatable, tapi saat ini bisa dilihat tumbuhnya semakin banyak media yang memungkinkan Creator berhubungan langsung dengan pembeli/penggemar), maka layanan music publishing semakin relevan. Bahkan scope of business-nya yang lebih luas daripada label rekaman yang hanya memiliki/mengelola hak cipta yang direkam, lewat kepemilikan master, jadi semakin menarik.

Lewat MP pula musisi (pencipta atau penampil) bisa mendaftarkan karyanya. MP berbeda dengan label, jadi untuk mendaftarkan karya, musisi sebenarnya tidak perlu label. Hanya perlu MP. Mereka juga bisa mendaftarkan karya musisi ke Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Sementara itu agar jelas tugas masing-masing, MP bertugas untuk menjual (atau mengeksploitasi) dan LMK melakukan koleksi hasil penjualan/eksploitasi tersebut.

Salah Kaprah

Tentunya bukan industri di negara berkembang namanya, jika tanpa salah kaprah. MP pun sering diterjang salah kaprah yang tentunya juga membuat perkembangannya terhambat.

Secara historis, industri musik di Indonesia dibentuk oleh industri rekaman (industri rekaman ≠ industri musik). Lewat major label yang masuk dan beroperasi di Indonesia sejak pertengahan 90-an, industri mulai terbentuk dan berkembang. Karena itu pula semua yang ada di industri musik, sering disangka bagian dari label.

Menurut Irfan, sering muncul pertanyaan dari musisi yang menyangka MP adalah bagian dari label. Pengalaman saya pertama kali mendengar music publishing juga begitu.

Tapi salah kaprah tersebut juga tidak terjadi begitu saja. Kebanyakan musisi yang tandatangan kontrak dengan label, tidak diberi tahu soal itu oleh labelnya (karena memang tugas musisi sendiri yang mengetahuinya). Dan lagi, kebanyakan label juga memiliki perusahaan MP (meski secara legal dipisahkan dengan PT yang berbeda).

Selain disangka bagian dari label, MP juga sering salah diartikan sebagai penerbit, seperti penerbit buku. Jadi MP seringkali disangka pihak yang mengurus penerbitan ke media. Ya mirip sih, sama-sama menerbitkan, tapi seperti yang sudah dijelaskan di atas, penerbitan produk musik dan media itu berbeda.

Mudah-mudahan bisa tersebar dan lebih banyak orang mengerti tentang Music Publishing di Indonesia. Memahami music publishing adalah salah satu kunci agar musisi bisa mencari uang, lewat hak cipta yang sudah mereka miliki.

Sampai jumpa di Musik Tempo bulan April! \m/

Bacaan lebih lanjut:

  1. Bagaimana Cara Memonetisasi Lagu.
  2. Endah and Resha Bicara Soal Hak Cipta
  3. Musisi Harus Mengetahui Aturan Main di Industri
  4. Agar Musisi Fokus Berkarya

Foto oleh @barijoe

Author: Robin

Jack of all trades living in SF Bay Area, California. Asian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *