Janji Palsu Model Pay Per Download
Semalam, Apple mengumumkan bahwa album U2 terbaru akan dibagikan secara gratis untuk pengguna iTunes di seluruh dunia (di negara yang masuk wilayah layanan iTunes). Apple memperkirakan album U2 tersebut bisa mencapai 500 juta orang, sebagian besar dari mereka adalah pemilik gadget Apple. Gila, banyak banget. Sayangnya pernyataan “Available exclusively on iTunes” itu tidak benar. Karena tidak mungkin ada pihak di dunia, yang bisa mencegah album tersebut berada dimana-mana. Jadi, album “Songs of Innocence” sekarang, hanya beberapa jam dari janji hanya tersedia di iTunes, tidak lagi hanya tersedia di iTunes, iTunes Radio maupun Beats (padahal Apple sudah membayar Universal, label U2 untuk mendapat hak eksklusif selama 25 hari).
Meskipun demikian, “Never before have so many people owned one album, let alone on the day of its release“, adalah benar. Dan ini adalah kabar baik untuk industri musik. Umat manusia akhirnya bisa merilis album yang dapat dinikmati secara serempak di seluruh dunia, terimakasih atas kekuatan server Apple untuk menyimpan file audio sementara jutaan penggemar dari seluruh penjuru bumi mengunduhnya. Tapi meskipun kabar baik, tetap saja kata “owned” itu janji palsu. Karena dari sisi hukum, tidak ada orang yang bisa “memiliki” album U2 kecuali U2 menjualnya (baca ulasan saya di artikel ini).
Mungkin, jika Apple dan pihak-pihak yang diuntungkan oleh model Pay Per Download tidak ngotot mempertahankan, maka model streaming akan sudah memiliki kekuatan yang jauh lebih signifikan di pasar musik. Signifikan di sini adalah jumlah user yang sudah cukup banyak untuk membuat skala bisnis streaming bisa lebih menghasilkan revenue yang lebih besar. Kita memang tidak akan pernah tahu. Tapi yang kita saksikan sekarang adalah upaya status quo.
Mengapa saya membandingkan dengan streaming?
Karena tidak seperti iTunes, orang bisa bilang sebuah album “Available to stream exclusively on Spotify” itu benar. Ada banyak sekali artis yang merilis album eksklusif untuk di-stream di Spotify. Dan jika artis (pemilik konten) tidak mau memberikan hak streaming kepada layanan lain selain Spotify, maka album tersebut benar-benar hanya bisa di stream di Spotify.
Tentunya, orang tetap bisa download album tersebut lewat jalur tidak resmi, jika karena satu dan lain hal, file bocor keluar dari server Spotify. Tapi yang ditawarkan kepada konsumen adalah pengalaman mendengarkan lagu di Spotify-nya itu sendiri. Dengan segala fitur dan ekosistem yang ada di sana.
Berbeda dengan model download, kamu hanya mendapat file-nya, terserah mau di dengar di mana. Bahkan, kamu bisa mendengarkannya di Winamp yang butut itu jika kamu mau (jika kamu pengguna Spotify, maka membandingkan pengalaman mendengarkan musik di Spotify dan Winamp adalah penghinaan).
Pelajaran
Industri musik, dibantu perusahaan teknologi dan revolusi internet, masih memberikan banyak opsi bagi penggemar untuk mengkonsumsi dan menikmati musik. Kamu bisa mendengar lewat media piringan hitam, CD, bahkan kaset. Kemudian di media digital, bisa streaming lewat berbagai layanan seperti Spotify, Deezer atau Guvera, atau membayar download lewat iTunes. Ini kabar baik. Karena, tidak seperti dulu, pendengar musik tidak harus mengikuti standar yang diberikan oleh industri musik. Akhirnya, pasar bisa memilih.
Tetapi perusahaan dengan kekuatan yang sangat besar hingga mampu mempengaruhi trend dunia seperti Apple tetap memiliki kontrol yang luas untuk mendikte bagaimana pasar bisa menikmati musik. Mereka akan terus mengendalikan industri lewat media yang menguntungkan mereka, yaitu iTunes dan perangkat keras Apple.
Meski seperti mimpi di siang bolong, dalam hati kecil saya tetap berharap, semoga Apple jadi model perusahaan terakhir yang punya kekuatan sebesar ini di industri musik. Sehingga industri ini tidak terhalang untuk berevolusi, hingga terus menemukan model dan konsep bisnis, yang mampu berkembang melewati badai perubahan jaman.
Update: Ternyata, Apple dan U2 gagal mengendalikan selera musik seseorang.