Menurut sebuah website dengan kemampuan menghitung kata yang ada di website lain, saya sudah menulis ratusan ribu kata di blog ini sejak 2006. Menulis segitu banyak memerlukan banyak sumber daya; termasuk mengumpulkan bahan, menulis, menyadur, dan lain sebagainya. Saya bukan/belum bisa disebut sebagai penulis cepat, jadi saya menghabiskan waktu lebih banyak daripada, jurnalis misalnya, yang menulis setiap hari.
Keuntungan Menulis
Meski membutuhkan banyak sumber daya, ada dua keuntungan paling utama yang saya dapatkan dengan banyak menulis. Yang pertama adalah kegiatan menulis memberi saya kesempatan untuk merefleksi diri. Buat saya ini krusial. Karena saya bisa mengembangkan dan membentuk karakter diri tanpa bantuan motivator, coach, trainer dan sejenisnya yang semakin menjamur di Indonesia.
Keuntungan satu lagi adalah saya bisa belajar menyampaikan gagasan secara runut agar bisa dimengerti orang lain. Semakin hari pekerjaan yang saya lakukan semakin besar, yaitu pekerjaan-pekerjaan yang memberi dampak untuk banyak orang. Untuk menjelaskan sebuah kerangka pekerjaan yang rumit memerlukan keterampilan tersendiri. Menulis membantu saya memiliki dan menguasai kemampuan tersebut.
Rejeki Anak Rajin Menulis
Lewat menulis pula, saya mendapat banyak kesempatan untuk mengerjakan berbagai projek dan program fantastis yang tidak mungkin saya dapatkan sebelumnya. Menyerahkan portfolio atau curriculum vitae kepada calon pemberi pekerjaan hanyalah memberi kesempatan mereka untuk menolak Anda. Pernah mendengar “pengalaman Anda kurang”, “pendidikan Anda tidak relevan”, atau “latar belakang Anda kurang sesuai dengan budaya perusahaan kami”? Itu karena sistem rekrutmen hanya dibuat untuk melihat apa yang “Anda sudah kerjakan”, bukan potensi sebenarnya atau dengan kata lain, “apa yang Anda bisa kerjakan”.
Hanya lewat selembar CV, mayoritas pemberi kerja yang levelnya hanya manajer ke bawah (Anda akan dihadapkan dengan mereka dulu sebelum berkas masuk ke jenjang yang lebih tinggi), tidak mampu menyambungkan latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja Anda untuk menemukan apa sebenarnya bakat Anda. Karena itu memang bukan tugas mereka. Itu sebabnya mereka cenderung mengambil jalan aman untuk menentukan rekrutmen, dan merekrut orang yang seperti mereka saja. Menulis bisa menembus dinding tersebut, yaitu memberi pengertian kepada mereka yang tidak mengerti untuk dapat mengerti Anda. Dalam banyak kasus, saya menemukan bahwa hal ini baik untuk karir para rekruter juga.
Lewat menulis apa yang Anda kuasai tentang sebuah topik atau bidang tertentu, dapat membentuk semacam otoritas, atau reputasi, Anda sendiri. Maka dari itu, saya tidak akan berhenti menulis. Karena selain sudah terbiasa, saya juga sudah merasakan keuntungannya.
Format Lain Selain Menulis
Beberapa bulan lalu saya memulai podcast yang saya beri judul Kota Musik Podcast. Lewat media ini, saya menemukan audience baru. Podcast memiliki tempat tersendiri di Indonesia. Mengapa? Media audio mudah dinikmati, karena tidak memerlukan koneksi internet cepat. Tantangan membuat konten dalam format podcast adalah produksi audio itu sendiri. Tidak mudah, karena tidak dibantu oleh media visual. Maka dari itu, podcast akan tetap menjadi sebuah media niche, yang dinikmati oleh orang tertentu saja.
Berbeda dengan video…
Orang Indonesia tidak suka membaca. Tapi YouTube Indonesia mendapat ratusan juta pengunjung yang nonton video milyaran kali dari Indonesia. Gila.
Membuat Publikasi Video
Saya sudah menyadari kebutuhan memiliki konten video sejak lama. Tapi tidak seperti menulis dan podcast, saya tidak mengerti bagaimana caranya memulai. Sebenarnya sudah pernah mulai dengan membuat beberapa konten video di perusahaan saya terdahulu. Kami sempat mempublikasi puluhan video. Saya puas dengan hasilnya, bukan kualitasnya, tapi dampak yang dihasilkan video-video tersebut pada peluang bisnis perusahaan saya.
Sayangnya saat itu saya berinduk pada perusahaan yang melihat video sebagai mediuam tradisional. Jadi untuk membuat video perlu modal ratusan juta, karena itu yang biasa mereka buat, untuk klien. Hasilnya saya tidak punya kesempatan untuk membuat sistem produksi DIY, dan berkembang perlahan. Seperti semua yang saya kerjakan selama ini, baik menulis, membuat podcast, membuat bisnis, program dan lain sebagainya. Akhirnya saya jadi punya pemahaman bahwa membuat video itu susah… dan mahal sekali.
Sampai suatu hari di bulan September 2016, saya coba-coba membuat vlog sederhana. Yaitu mendokumentasikan kegiatan saya seharian bekerja tanpa komputer. Jarang sekali saya bekerja tanpa komputer, jadi buat saya hari tersebut unik. Saya shoot beberapa bagian perjalanan jauh Bandung-Lembang, bekerja di sebuah cafe di daerah Jl. Dago, dan perjalanan pulang. Saya edit seadanya dengan software yang saya punya dan biasa gunakan: Screenflow. Bukan software khusus editing video, tapi lebih tepatnya untuk meng-edit screencast. Tapi bisa untuk editing video.
Setelah selesai dan mempublikasikan ke channel YouTube, saya merasa lega. Dari situ saya membuat beberapa vlog lagi dan mempublikasikannya.
Tidak Bermaksud Menjadi Vlogger
Ini keputusan besar. Seperti membuat blog dan mengisinya sejak 11 tahun lalu, saya tidak bermaksud menjadi blogger. Penulis blog tidak selalu bisa disebut blogger, begitu pula mereka yang membuat vlog, tidak semua bisa disebut vlogger. Terlalu berat buat saya menyandang gelar tersebut.
Belum lagi ada stigma vlogger, seperti ada juga stigma di dunia blogger, bahwa menjadi vlogger itu harus membuat daily vlog seperti yang dilakukan Casey Neistat (yang akhirnya menghentikan kegiatan daily vlog-nya karena sudah merasa terganggu dengan kegiatan tersebut). Stigma lain adalah vlog itu hanya untuk bidang teknologi, yaitu review smartphone terbaru dan kamera paling canggih.
Setelah mempublikasi beberapa vlog, saya menemukan bahwa saya bukan keduanya. Kegiatan saya sehari-hari kebanyakan dihabiskan dengan membaca dan berpikir (tidak ada materi menarik untuk dijadikan vlog). Saya jarang travel, bahkan saya jarang keluar rumah. Jadi saya tidak kompeten untuk menjadi vlogger dalam konteks yang dimengerti masyarakat umum. Saya berhenti mempublikasi vlog yang berisi kegiatan saya dan menemukan, bahwa mempublikasikan vlog tidak harus seperti yang sudah ada. Saya boleh menjadi diri sendiri, seperti ketika saya menulis blog dan mempublikasikan podcast.
Peralatan Yang Dibutuhkan
Maka dari itu saya mencoba untuk membuat beberapa perencanaan dan strategi konten. Yang pertama, saya akan merekam one-man speech. Saya akan bicara sebuah topik yang saya kuasai, dan merekamnya dalam bentuk video. Mudah sekali, karena saya bisa merekam ini di rumah dengan rak buku sebagai latar belakang. Tidak akan ada lagi vlog kegiatan ataupun travel, kecuali saya rasa benar-benar penting. Kedua, saya akan melakukan interview dengan beberapa teman saya yang memiliki pengetahuan tertentu, dan berdiskusi tentang hal-hal spesifik yang mungkin dapat berguna untuk orang lain.
Setelah menentukan konten apa yang saya produksi, dari situ saya bisa mulai membuat rencana skenario teknis untuk kedua jenis konten tersebut. Saya pun menentukan alat apa saya yang saya butuhkan. Kamera dengan fitur seperti apa, microphone jenis apa, lampu, lensa, audio interface, tripod, tas, hingga aksesori-aksesori untuk penunjang produksi dan software editing. Bermodalkan rencana konten dan peralatan relatif sederhana, di atas kertas sekarang saya bisa produksi vlog lebih banyak dan rencana akan berkembang dari situ.
Apa Rencana Ke Depan?
Rencana saya simpel: bikin vlog. Subscribe ke channel YouTube saya di sini.
Artikel yang sangat bagus, Membuat blog dengan wordpress atau blogspot adalah juga salah satu cara untuk memulai bisnis online.
Thanks infonya sangat membantu