Jalan Berbatu Yang Harus Dilewati SoundCloud

rocky-road

SoundCloud Go, layanan langganan berbayar dari “platform musik baru” SoundCloud resmi diluncurkan di UK dan Irlandia, setelah sebelumnya duluan diluncurkan di Amerika. Saya masih belum mengerti, bagaimana cara efektif yang harus mereka lakukan untuk meyakinkan orang yang biasa menggunakan layanan SoundCloud gratisan, untuk berubah menjadi pelangganan berbayar.

Tadinya layanan musik berpusat di Jerman ini bergantung pada pencipta dan penampil independen. Lewat strategi fokus pada jenis musisi yang jumlahnya sangat banyak dan tesebar di seluruh dunia tersebut (musisi independen jumlahnya lebih banyak), mereka bisa mencapai skala katalog seperti sekarang. Menurut BBC, perusahaan ini sekarang memiliki katalog berisi 125 juta konten. Naik 25% dari Agustus tahun lalu, ketika saya bertemu dengan staff mereka di kantor pusat Berlin. Saat itu SoundCloud mengklaim memiliki 180 juta pengguna di seluruh dunia dan 100 juta konten. Pengguna di Indonesia konon ada 4 juta orang.

Kebanyakan, konten tersebut unlicensed. Jadi jumlahnya memang bisa 3-4 kali lipat dibanding layanan streaming yang sejak pertama sudah berbayar seperti Deezer dan Spotify. Sebagai perbandingan, per tahun 2014 ada 20 ribu lagu didaftarkan hak ciptanya setiap bulan di UK, dan menurut seorang konsultan musik yang saya temui, pada periode yang sama ada 4x lipat atau 100 ribu lagu yang diproduksi tapi tidak dilisensikan. Jadi angka yang dicapai SoundCloud itu konsisten dengan rasio di industri. Musik tidak terdaftar memang jumlahnya jauh lebih besar jumlah musik yang terdaftar. Lewat laporan publik tahun 2015, IFPI mengklaim hanya ada 43 juta lagu yang terdaftar secara digital di seluruh dunia. 

Angka katalog yang fantastis tersebut tentunya menjadi perhatian pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk investor dan label/distribution partner.

Masalahnya buat SoundCloud, mengandalkan creator independen untuk menjual konten terbukti sulit sekali menghasilkan uang. Seperti yang sudah saya rasakan dengan Musikator ketika masih jadi aggregator selama 3 tahun. Mampus lah. Mau dibolak balik gimana juga tetap aja susah laku. Nanti sih mungkin saja bisa, tapi sekarang… tidak tidak tidak tidaaaaaaakkkk…

Ketika layanan SoundCloud masih gratis, orang mau mencari dan menemukan musik-musik baru dari artis baru. Istilahnya, masuk tokonya toh gratis. Jadi orang mau masuk dan melihat-lihat, terus mereka jadi tahu. Tapi kalau masuk tokonya aja harus bayar, memangnya orang mau? Itu tantangannya membuat platform dengan konten creator independen untuk menjadi platform berbayar. Sementara penggemar fanatik musik indie, yaitu mereka yang mau ngeluarin duit, kebanyakan menikmati musik lewat rilisan fisik (atau bahkan masih download gratisan). Karena untuk mereka, ilusi dan nostalgia “memiliki” musik, baik dalam bentuk file atau atau rilisan fisik masih menjadi motivasi mereka untuk mengkonsumsi musik. Streaming tidak menawarkan opsi “memiliki” (padahal memang lagu, bersamanya tertempel hak cipta, kan memang tidak pernah bisa dimiliki).

Soal SoundCloud sekarang punya deal dengan major distribution dan label untuk membawa artis-artis mainstream, memang iya. Tapi kan udah ada streaming services lain, yang sudah lebih dulu jadi top of mind di konsumen musik.

Jadi kelebihan SoundCloud apa dong?

Tampaknya dengan dibesar-besarkannya berita minusnya laba rugi operasi mereka beberapa tahun terakhir dan tuntutan bertubi-tubi para pengelola hak cipta, membuat mereka terpaksa bikin strategi monetisasi meski prematur. Padahal cara yang efektif sebenarnya mungkin memang belum ketemu, karena ini bisa disebut territory baru di ekonomi musik digital. Yang bisa melewati baru YouTube, tapi itu juga kan produknya audio visual.

Mudah-mudahan SoundCloud bisa bertahan, karena pentingnya keberadaan mereka di ekosistem musik tidak bisa dianggap remeh.

Sumber gambar: Miyo Kuhakoto (CC BY-NC-ND 2.0).

Author: Robin

Jack of all trades living in SF Bay Area, California. Asian.

2 thoughts on “Jalan Berbatu Yang Harus Dilewati SoundCloud”

    1. Dari dulu juga sebenarnya rilisan fisik punya nilai collectible sih. Lewat berbagai format digital, jadinya orang yang gak memandang collectible values (kepemilikan, dsb) sebagai suatu keharusan, bisa “stream and forget”. Ya kebayang lah sekarang begitu banyak rilisan, gak bisa semua jadi collectible item juga kan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *