Sisi Hitam Membeli Lisensi Aplikasi Pengembang Indie

Ketika mendengar kabar Sparrow diakuisisi Google, saya nge-tweet:

Latar belakangnya begini.

Saya sangat menikmati app (aplikasi/software) dari pengembang indie. Banyak talenta developer yang berani membuat perusahaan berisi hanya 2-3 personel dan mengembangkan app yang dapat memecahkan masalah sehari-hari untuk pengguna. Saya membeli lisensi app dari beberapa pengembang favorit saya seperti Panic (Coda, Diet Coda, Transmit), Tapbots (Tweetbot, Calcbot), iA (iAWriter), Marco Ament (Instapaper), Agile Bits (1Password) dan banyak lagi. App yang mereka kembangkan saya gunakan sehari-hari (detil app yang saya gunakan ada disini).

Buat saya, insentif untuk membeli lisensi app sejenis adalah fitur yang cukup untuk pengguna (tidak kurang, tidak lebih – lihat video fitur iAWriter dibanding dengan MS Word), biasanya mereka ‘sadar disain’ dan tentunya harga yang lebih murah daripada pengembang korporat.

Selain benefit tersebut, ada 1 hal yang membuat saya lebih suka membeli app indie daripada app dari pengembang korporat: Saya ingin men-support pengembang indie. Jika saya mengingat masa-masa main band, saya merasa senasib dengan mereka. Menurut saya mereka adalah orang-orang yang perlu dilestarikan dan perlu dibantu untuk bertahan. Mereka tidak hanya memberi solusi alternatif untuk banyak pengguna, tetapi juga mereka memiliki keberanian untuk mengembangkan app meski harus bersaing dengan pengembang korporat yang memiliki sumber daya jauh lebih besar. Selain lisensi app, saya biasanya juga membeli merchandise mereka (more on that later).

Diakuisisi
Sayangnya beberapa kejadian akhir-akhir ini membuat saya berpikir ulang untuk membeli lisensi app. Mengapa? Banyak dari mereka yang dibeli oleh perusahaan besar. Sebagian besar adalah akuisisi talenta yang kemudian projek app tersebut dihentikan atau dibuat menjadi layanan gratis oleh pemilik baru.

Saya tidak bisa menyalahkan. Jika alasannya uang, karena jumlah yang ditawarkan pastinya sangat besar. Seperti akuisisi Sparrow oleh Google, yang nilainya kurang lebih Rp 250 milyar. Who am I to disagree? Tapi jika sebuah app berakhir seperti itu (ditutup atau dijadikan gratis), buat apa pengguna seperti saya membeli lisensi?

Ini sama rasanya seperti melihat band independen keren, dan berakhir di major label. Tidak kuat melawan arus dan atau terjebak (yang pasti kalah kuasa), dan akhirnya self destructed. Sedikit yang bertahan.

Saran dari Marco Ament:

If you want to keep the software and services around that you enjoy, do what you can to make their businesses successful enough that it’s more attractive to keep running them than to be hired by a big tech company.

Tentunya, saya akan lebih berhati-hati untuk membeli lisensi aplikasi di masa depan. Saya tidak tahu bagaimana itu berhati-hati. Tapi kejadian ini benar-benar membuat saya kesal dan hilang kepercayaan.

Update: I am not the only one who pissed off.

Author: Robin

Jack of all trades living in SF Bay Area, California. Asian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *