Hari Rabu, 25 Februari lalu, Tempo Media menyelenggarakan #MusikTempo, yaitu acara bincang-bincang tentang industri musik. Saya berkesempatan menjadi moderator di acara yang rencananya akan berlangsung sebulan sekali ini. Hang Dimas, menjadi narasumber pada diskusi pertama yang bertema “Copyright and Publishing in Music Industry”.
Asal mula acara ini adalah diskusi antara David Karto, pemilik Demajors dan Qaris Tajudin, Redaktur Pelaksana majalah Tempo. Mereka ingin mengadakan acara musik, yang biasanya seputar live music. Kali ini David merasa perlu memasukkan diskusi tentang industri musik dan merekomendasikan saya. Akhirnya kami bertiga bertemu di kantor Demajors. Pada pertemuan tersebut saya mengungkap beberapa ide, yang kira-kira cocok dengan karakter Tempo. Qaris ternyata setuju. Akhirnya pembicaraan berlanjut diminggu-minggu berikutnya untuk memperdalam konsep.
Diskusi yang ditujukan untuk musisi baru sekaligus praktisi tersebut berlangsung di cafe Birdcage di kawasan Jl. Wijaya, Jakarta Selatan. Acara dimulai jam 7:30, dibuka dengan penampilan apik the lovely Bonita and The Hus Band. Kemudian dilanjut dengan acara diskusi. Adoy, yang juga gitaris dan rekan sesama finalis British Council’s IYMEY 2006 juga ikut di panel diskusi yang berlangsung kurang lebih 45 menit tersebut.
Ketika diskusi hampir berakhir, tak disangka Triawan Munaf, ketua Badan Ekonomi Kreatif dan Abdee Negara, pengawas LMKN Indonesia hadir. Dan karena ada pertanyaan yang tidak bisa kami jawab, kami mengajak keduanya naik ke panggung untuk ikut diskusi spontan.
Diskusi
Saya membuka diskusi, dimulai dengan definisi industri musik, yang mencakup tidak hanya industri rekaman, tapi juga industri terkait seperti pertunjukan musik dan industri-industri lain yang muncul karenanya.
Setelah itu saya juga membahas era media yang mempengaruhi produk musik, yaitu:
- Era Media Tertulis: produk yang tercipta adalah Sheet Music.
- Era Media Mekanik: produk yang tercipta adalah Broadcasting dan Recording.
- Era Media Digital: produk yang tercipta Streaming dan Downloading (dan banyak lagi di masa depan, kita belum tahu).
Sementara itu, kita membuat industri musik itu tidak “ngarang” sendiri. Tapi di dunia sudah ada industri yang sudah lebih dahulu berbenah dan sudah lebih mapan. Negara-negara dengan industri musik terbesar adalah Amerika, Jepang, Jerman, Inggris dan Perancis.
Bagaimana dengan Indonesia? Seperti yang ditulis Tempo di “Pendapatan Industri Musik Indonesia Kalah dari Glastonbury” memang benar. Kita 1 negara masih kalah pendapatannya dibanding 1 festival. Sementara itu, seperti yang sudah diungkap di Cetak Biru Industri Musik Indonesia, kontribusi industri musik terhadap ekonomi kreatif Indonesia hanya 1% saja.
Angka-angka tersebut masih dipertanyakan validitasnya, meski keluar resmi dari negara. Tentu saja rasanya tambah menyedihkan. Negara kok tidak punya data yang valid tentang industri musik?
Tapi kabar gembiranya, Triawan Munaf berniat untuk menjadikan industri musik sebagai salah satu lokomotif ekonomi kreatif di Indonesia. Jika benar dan terlaksana dengan efektif, maka industri musik Indonesia punya harapan untuk berkembang. Setiap harapan kecil akan sangat berguna.
Nah sekarang, lepas dari semua kecanggihan teknologi yang kita lihat sekarang, industri musik di seluruh dunia bermula dari sekelompok orang yang membuat lagu di studio. Dan ketika mereka selesai mencipta, maka muncul apa yang disebut sebagai Hak Cipta.
Diskusi Hak Cipta di Indonesia
Ada beberapa kesimpulan dari hasil diskusi yaitu:
- Di negara lain music licensing yang berdasarkan UU Hak Cipta sudah berjalan. Jangankan dinegara-negara yang industrinya sudah sangat maju, tapi juga di Singapura dan Malaysia tempat Dimas pernah menjadi musisi yang sukses.
- Indonesia sudah ada UU Hak Cipta baru, yang diresmikan tahun 2014.
- Royalti tidak bisa dipungut oleh perorangan, tetapi harus lewat lembaga yang ditunjuk negara, yaitu LMK atau Lembaga Manajemen Kolektif.
- Sudah ada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional yang dilantik oleh Menkumham akan mengawasi kinerja LMK.
- Rate royalti akan dicari yang paling fair dan diatur oleh LMKN.
- Mendaftarkan Hak Cipta hanya perlu ke LMK. Sedang dicari cara yang paling mudah buat musisi, pencipta dan produser untuk mendaftarkan.
- Di UU yang baru, bukan hanya pencipta yang mendapat hak, tapi juga penampil.
- Pemerintah berkomitmen penuh untuk penegakan hukum.
Karena waktu yang terbatas, malam itu kami tidak sempat membahas tentang Publishing. Jadi diacara kedua nanti, akan dibahas soal Music Publishing secara khusus.
Sampai ketemu bulan depan di #MusikTempo!
Foto atas: Andre Opa Sumual. Foto bawah: Hang Dimas.
3 thoughts on “Bincang-Bincang di Musik Tempo #1”