FGD dengan Tim Transisi Ekonomi Kreatif

FGD Pokja Bandung
Suasana FGD yang santai. Foto: Gustaff

FGD Pokja Tim Transisi

Jumat sore saya ditelepon sahabat saya Gustaff, dari CommonRoom. Dia minta saya jadi narasumber di FGD (Forum Group Discussion) untuk membantu pokja (kelompok kerja) tim transisi ekonomi kreatif. Pokja tersebut adalah sekelompok relawan yang bertugas mencari masukan dari pelaku industri kreatif, untuk memberi rekomendasi program apa yang harus dilakukan oleh departemen Ekonomi Kreatif Indonesia di bawah Presiden Jokowi. FGD tersebut bertempat di BCCF Simpul Space #3, di Jl. Taman Cibeunying, Bandung.

Ketika tiba di sana (ini pertama kalinya saya ke kantor BCCF), tim perangkum yang terdiri dari Dwinita Larasati, Fiki Satari dan Gautama Adi Kusuma, sedang berdiskusi dengan Dr. Adhi Nugraha dari ITB. Saya duduk di meja makan, sambil membuka Macbook air saya mencari materi presentasi untuk FGD. Karena waktu yang sangat mepet dari menerima undangan hingga FGD, saya tidak membuat presentasi baru. Tapi menggunakan materi presentasi yang sama dengan acara “Mau dibawa kemana Ekonomi Kreatif Indonesia?”, tentunya, dengan penjabaran yang disesuaikan. Sementara itu di ruangan tengah, Gustaff tampak berdiskusi dengan Irvan Noe’man. Tak lama setelah saya duduk, datang teman saya Kimung dari Karinding Attack.

Di FGD sesi ke-2, berturut-turut narasumber yang berbagi adalah saya, Irvan Noe’Man dan Kimung. Saya dan Kimung cenderung memberikan cerita apa yang kami sudah kerjakan, sementara itu Mas Irfvan memberikan pemaparan program yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk industri kreatif.

Ketika saya ditanya oleh Fiki, seharusnya pemerintah musti bagaimana. Saya hanya bisa menjawab dengan jujur, bahwa saya sudah “menyerah” kepada pemerintah. Mungkin, saya mau berdialog lagi dengan pemerintah, jika yang disodorkan adalah “Badan”, yang tidak diisi oleh birokrat.

Mengelola Pisang Hijau

Banyak sekali yang saya pelajari dari sesi FGD yang berlangsung kurang lebih 2 jam tersebut. Tapi yang paling berkesan adalah pemaparan Irvan dengan ilustrasi pisang hijau (mentah), pisang kekuningan (mulai matang) dan pisang kuning (matang). Kita terbiasa mengelola pisang kuning, karena sejak dulu kita diajarkan bahwa itu satu-satunya cara menghasilkan uang. Yaitu mengelola pisang yang matang. Tapi kita tidak mengelola pisang hijau, padahal tanpa pisang hijau tidak akan pernah ada pisang kuning.

Di presentasi saya, salah satu solusi talenta musik di Indonesia adalah program community building, yang saya pelajari di Roundhouse dan program showcase untuk musik yang baru yang saya pelajari di The Great Escape. Program-program ini, mengelola pisang hijau, yang belum kita temui di Indonesia. Jikapun ada, konsepnya terpecah-pecah. Industri kreatif Indonesia akan melihat kontribusi signifikan dari industri musik di masa depan jika kita berhasil mengelola pisang hijau.

Siapa sih sebenarnya yang harus mengelola pisang hijau? Tentunya tidak bisa diserahkan tanggungjawabnya kepada pemerintah. Karena industri yang harusnya memahami kebutuhan ini dan memiliki skill untuk mengelolanya. Tetapi pemerintah juga harus mendukung, dengan cara memfasilitasi industri, seperti yang kita bisa lihat di negara maju yang industri kreatifnya menghasilkan banyak uang untuk negara, seperti di Inggris.

Pelajaran

Semakin kesini saya melihat semakin banyak orang yang ingin mendorong perubahan di negara ini, termasuk (dan mungkin, terutama) orang-orang di industri kreatif. Mudah-mudahan semangat perubahan yang diusung pemimpin baru dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dan memang itu semangat FGD kemarin, yaitu menggunakan momentum perubahan yang sedang berjalan, dan memaksa pihak-pihak yang tidak mau berubah karena keuntungan pribadi, untuk ikut atau tersingkir.

Kita harus berubah, suka tidak suka, mau tidak mau. Dan perubahan tidak pernah terjadi dengan sendirinya, harus dibantu dan didorong.

Author: Robin

Jack of all trades living in SF Bay Area, California. Asian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *