Sebelumnya saya hanya mendengar istilah kota musik disebut oleh pejabat pemerintahan di media. Tapi tidak pernah melihat hasil nyata, sampai saya sempat berpikir kalau istilah tersebut hanya jargon politik semata. Tapi karena ada hubungannya dengan musik, akhirnya saya coba dalami, sampai suatu hari saya malah diundang jadi pembicara di Music Cities Convention, yaitu konferensi yang membahas kebijakan yang dibutuhkan untuk membangun kota musik. Waktu itu, konferensi tersebut dihadiri perwakilan dari 75 kota dari segala penjuru bumi. Acara yang sangat mengilhami. Setelah itu saya menulis artikel Membangun Kota Musik di Indonesia, artikel yang dipublikasikan ulang di berbagai media.
Tentang Kota Musik
Artikel yang saya tulis sekitar setahun yang lalu tersebut bermaksud untuk mendefinisikan kota musik lewat wacana praktis. Tujuannya tak lain agar memiliki acuan, untuk memudahkan saya menyelesaikan pekerjaan, yaitu yang saya tulis di profil LinkedIn sebagai: “Music Strategy Advisor for Policy Maker“. Tapi seperti pisau bermata dua, ternyata ada dampak buruk dan baik. Dampak buruknya adalah orang memperlakukan artikel tersebut sebagai definisi baku.
Mengacu pada fakta-fakta baru, saya merasa perlu untuk meninjau ulang definisi kota musik di artikel tersebut (artikel lama tidak akan saya hapus, agar terlihat perkembangan pemahaman terhadap topik ini). Tujuan artikel ini untuk mengajak berpikir, bukan sekedar untuk membuat definisi baku. Semakin ke sini, definisi kota musik semakin luas. Jadi ada baiknya untuk memahami definisi dasar serta panduannya dulu. Selebihnya silahkan kembangkan sendiri.
Masalahnya, orang Indonesia senang dengan penjelasan teknis. Karena kebiasaan menghafal. Contohnya, saya berulangkali ditanya oleh pejabat negara, “Apakah sistem yang digunakan di Ambon sudah sesuai dengan kriteria kota musik UNESCO?”.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya menggunakan kalimat dari Mirik Milan, sang Wali Kota Malam: “Setiap kota memiliki DNA sendiri. Jadi tidak pernah bisa menggunakan metoda yang sama”. Jadi pendekatannya selalu beda. Lewat obrolan singkat di Berlin bulan April lalu, dia mencontohkan Amsterdam sebagai kota yang sangat liberal, sehingga bisa jadi pionir “kota malam”, yang konsepnya sekarang diikuti kota-kota besar seperti London, New York dan Berlin. Tetapi menerapkan strategi ekonomi malam pun tidak bisa menggunakan cara Amsterdam di kota lain. Mirik juga bercerita, bahwa memberikan pemahaman seperti ini tidak mudah.
Dari pengamatan saya terhadap kota-kota yang tergabung di UNESCO Creative Cities Network juga tidak ada yang sama. Jadi sebenarnya, tidak ada yang namanya “Kriteria UNESCO”. Atau, jika ada, tidak baku. Tapi jika saya jawab begitu, maka orang, apalagi pejabat, bisa jadi tidak yakin bahwa saya mengerti apa itu kota musik. Untuk menghindari hal tersebut, maka saya lebih sering menganggukkan kepala saja, “Sudah, Mas” atau “Sudah, Pak”. Tetapi, semakin saya biarkan ini terjadi, semakin orang Indonesia salah kaprah. Bahwa membangun kota musik itu ada metoda khusus yang harus diikuti, tanpa melihat DNA kotanya seperti apa.
Mendefinisikan Kota Musik
Mendefinisikan “Kota Musik” di Indonesia itu tantangannya berat. Karena mirip dengan cerita “3 Orang Buta dan Seekor Gajah”. Masing-masing hanya bisa menerangkan apa yang dia pegang. Yang satu bilang gajah itu bentuknya seperti ekor, yang lain seperti belalai, dan ada yang seperti kaki.
Kita juga cenderung membuat definisi demi keuntungan sendiri, atau pihak tertentu saja.
Misalnya, “Kota Musik adalah tempat dengan ekonomi musik yang hidup dan berkembang”. Yang membuat definisi itu adalah IFPI, organisasi global perusahaan rekaman. Jadi jelas, definisi tersebut mengacu pada nilai ekonomi saja. Saya pribadi paling sering menggunakan definisi yang diperluas dari IFPI yaitu, “Kota Musik adalah tempat dengan ekosistem musik yang hidup dan berkembang”. Karena, saya menjual metodologi bahwa untuk membangun kota musik, maka yang dibangun adalah ekosistem musik yang sehat.
Beda lagi jika orang Amsterdam yang diminta mendefinisikan kota musik, mungkin jadi “Kota atau tempat yang beroperasi 24 jam”.
Di sebuah workshop, Charles Landry, pionir “Kota Kreatif” mendefinisikan bahwa kota berbasis budaya adalah “Kota yang inklusif dan toleran”.
Ada lagi (meski absurd kedengarannya, tapi ini kisah nyata) pejabat pemerintah Indonesia yang mendefinisikan kota musik itu sekedar “membangun komunitas”. Langkah politis seperti memang akhirnya sangat mempengaruhi pengembangan kota musik. Ini tidak bisa dihindari, karena pengembangan kota musik mutlak harus melibatkan pemerintah, yang tentunya butuh bersikap politis. Tapi politisasi budaya bisa menciptakan dampak buruk juga dan seringkali malah mengaburkan tujuan dari kota musik itu sendiri. Jadi kita harus bijak, cerdas dan hati-hati.
Sementara itu, UNESCO juga pada dasarnya mendefinisikan kota musik untuk kepentingannya, yaitu kota yang menggunakan musik sebagai alat untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDG). Mengapa? Karena UNESCO harus ikut mendukung program PBB yang sudah menentukan 17 SDG yang akan dicapai bersama tahun 2030.
Kesimpulannya, definisi kota musik akan selalu bergantung pada kepentingan yang mendefinisikan. Tetapi evolusinya semakin ke sini, buat saya, semakin menginspirasi.
Mempelajari Praktek Terbaik
Saya mengunjungi banyak kota yang dikenal memiliki ekosistem musik yang sehat dan berkembang seperti London, Glasgow, Liverpool, Cardiff, Bristol, Birmingham, di UK. Juga Berlin, Hannover, Hamburg, Kiel dan Leipzig di Jerman. Paris di Perancis, Eindhoven dan Amsterdam di Belanda, Ghent dan Antwerp di Belgia. Juga Taipei di Taiwan, juga Seoul yang luar biasa di Korea Selatan.
Selain itu saya juga bertemu, berkenalan dan bertukar pikiran dengan pengurus kota musik di Kingston (Jamaika), Hamamatsu (Jepang), Tongyeong (Korea Selatan), Adelaide (Australia), Kinshasa (Congo), Brazzaville (Republik Demokrasi Kongo), Katowice (Polandia) dan Idanha-a-Nova (Portugal).
Dari pengamatan saya, memang betul, masing-masing kota musik punya kekuatan, tujuan dan tentunya strategi masing-masing, bagaimana menggunakan musik untuk membangun kotanya. Contoh (tanpa urutan yang rapih):
- Idanha-a-Nova, anggota jaringan UNESCO Creative Cities Network (UCCN), hanya memiliki populasi kurang dari 10.000, padahal ada syarat tertulis minimal berpenduduk 100.000. Ternyata meski berpenduduk sedikit, mereka bisa menyelenggarakan acara rutin Boom Festival, yang dihadiri pengunjung dari 150 negara. Festival ini juga termasuk sebagai “transformational festival“.
- Salah satu aset yang dimiliki kota Hamamatsu adalah Museum Alat Musik. Saya bertemu dengan pengurus bagian budaya kota Leipzig bulan April lalu, kota tersebut juga punya Museum Alat Musik, bahkan dikenal sebagai kotanya Johann Sebastian Bach, tapi meski mendaftar, Leipzig tidak diterima di jaringan UCCN.
- New York dan London merupakan pasar pertunjukan musik pertama dan kedua terbesar di dunia. Tapi keduanya tidak tergabung dengan UCCN.
- Seoul adalah kota yang dikenal pusat K-Pop yang menyumbang ke ekonomi negara sebesar $11 milyar setiap tahun. Tapi Seoul masuk ke jaringan Kota Disain di UCCN, bukan Kota Musik.
- Dalam sebuah meeting di kantor Glasgow Life, pengurus Kota Musik Glasgow, mengklaim bahwa salah satu kekuatan kota kedua terbesar di Skotlandia tersebut adalah komunitas, sampai mereka menggunakan jargon resmi “People Make Glasgow”. Beberapa jam kemudian saya bertemu dengan Direksi dari Celtic Connection, dan salah satu direkturnya “tidak bisa merasakan” dampak masuk ke UCCN. Jadi, gak selalu nyambung juga antara pemerintah/pengurus kota musik dengan “komunitas”. Tapi yang pasti Glasgow diuntungkan sekali dengan adanya Celtic Connection.
- Kasus lain soal komunitas ini adalah Village Underground, salah satu club kecil berkapasitas 700 favorit di London yang dikenal luas. Menurut pengurusnya Glen Max, Music Venue Trust tidak membantu club kecil kecuali sebatas bantuan politis.
- Saya sempat ngobrol dengan Kevin McManus, pengurus Kota Musik Liverpool. Menurut Kevin, kota tersebut dipilih oleh komite UNESCO karena memiliki program pengembangan untuk musisi baru dan memiliki warisan musik sekelas The Beatles. Juga, setidaknya ada 4 festival musik berkelas internasional yang mendukung program di kota hanya berpenduduk 400 ribu orang tersebut.
- Katowice di Polandia masuk ke UCCN tanpa memiliki kebijakan musik yang jelas. Mereka baru membuat serangkaian kebijakan yang mendukung pengembangan musik setelah bergabung. Mereka dipilih, karena warisan musik di kotanya.
Musik Sebagai Infrastruktur
Sejauh ini saya melihat gagasan paling radikal adalah dari teman saya Dr. Shain Sapiro. Dia mengusulkan bahwa musik itu seharusnya diperlakukan seperti gedung, rumah sakit, jalan raya, atau sekolah. Jadi, musik harus diperlakukan sebagai infrastruktur, baru sebuah tempat bisa disebut sebagai kota musik.
Argumentasinya adalah:
Kota musik dalam format yang paling sederhana, adalah tentang meningkatkan kualitas hidup. Seharusnya kita menggabungkan industri musik dengan perencanaan kota dan kebijakan, serta membuka gagasan baru agar melibatkan lebih banyak lagi disiplin termasuk optimalisasi ruang publik, penggunaaan lisensi, arsitektur, budaya dan lain-lain. Dengan demikian setiap ada kata “kota musik”, maka definisinya dapat dipahami banyak orang. Ini bagus untuk kita semua.
Pengembangan musik seharusnya memang berarti lebih dari pengembangan industri, maka tidak semuanya harus berujung ke industri musik. Ini relevan dengan keadaan di Indonesia.
Indikator Kota Musik
Meski tidak ditemukan di semua kota, tetapi kota yang mengoptimalkan musik mendapatkan ekonomi yang berkembang, talenta yang bertahan di kota tersebut, kesehatan masyarakat meningkat, munculnya komunitas yang mau terlibat dalam masalah kota, industri-industri lain yang bertumbuh, ruang publik yang lebih berkualitas, reputasi yang baik, meningkatnya pariwisata, kesempatan mendapat jaringan internasional, semakin banyak acara publik dan industri musik yang sehat.
Jika tertarik kota Anda mencapai indikator-indikator di atas, maka kenali terlebih dahulu DNA kota Anda dan pastikan ada kebijakan yang mendukung musik sebagai bagian dari infrastruktur kota.