Mengapa Gue Bermusik Lagi

Robin Malau #homeguitarist

Wah, kapan ya terakhir gue update blog ini? Ternyata November 2020!

Sudah lama sekali! Terhitung lama, karena sebelum pindah ke Amerika, gue sering posting blog. Ya gak rajin posting juga 2 tahun sih lama ya. Apakah gue bakal rajin lagi posting di blog ini? Mungkin. Mungkin juga tidak. Haha, nggantung.

Anyway, topik posting kali ini, seperti judulnya adalah, “Mengapa gue bermusik lagi“. Memangnya pernah tidak bermusik? Oh pernah banget, kurang lebih 17 tahun gue tidak aktif bermusik. Artinya, meski gue rajin mondar-mandir di industri musik, di balik layar gue tidak pernah main gitar lagi. Juga tidak pernah menyentuh instrumen lainnya. Singkat cerita gue frustrasi jadi musisi, makanya terjun ke balik layar, ceritanya untuk membenahi ekosistem musik Indonesia. Gagal pula membenahinya. Ya sebenernya bukan tugas gue juga sih. Jadi ya udah, gue tinggal aja sekalian.

Ok. Jadi, terakhir punya gitar tahun 2002. Sesudah last show, Puppen sempat merekam 2 lagu demo, sesudah itu gue pindah ke Bali. Lucunya, 2 demo yang tidak pernah rilis itu tersebar luas di internet. Yang tahu hanya personil Puppen, sound engineer, dan pemilik studio. Gak tahu deh kok bisa nyebar kemana-mana gitu. Oh ya, sebelum pindah, gue jual semua peralatan musik.

Sejak saat itu, gue gak pernah punya peralatan musik yang serius. Beberapa kali punya gitar akustik nylon merk Yamaha, and that’s it.

Jadi mengapa gue tiba-tiba beli gitar dan segala macam peralatan itu?

Jika kamu lebih memilih versi audio visual, silahkan tonton video yang gue upload ke YouTube di bawah ini. Untuk versi tulisan, silahkan lanjut membaca.

1. Daya beli

Faktor pertama yang membuat gue beli gitar lagi adalah soal daya beli di Amerika.

Merek gitar favorit gue adalah Gibson. Harganya beberapa puluh juta rupiah. Untuk beli barang non-esensial harga segitu, di Indonesia harus jadi eksekutif di bank, atau institusi resmi. Jabatannya harus lumayan tinggi. Musisi yang sudah jadi manajer di bank, penampilan, bahasa tubuh, dan gayanya bisa dibilang sudah berubah. Karena pasti terbawa suasana kantor. Istilahnya udah keburu basi.

Sementara itu di Amerika, karyawan pabrik aja bisa beli Gibson. Penghasilan jauh lebih tinggi, sementara itu peralatan musik jauh lebih murah.

2. Di Amerika, Musik itu natural

Musik populer itu dibuat untuk pasar Amerika, pasar musik terbesar di dunia. Jadi orang suka musik itu natural. Gue gak pernah ketemu orang yang bilang, “Gue gak suka musik”. Atau seperti di Indonesia, “Gue gak hobi musik”.

Semua co-worker gue pasti pernah pergi ke konser musik. Baik saat gue kerja di gudang, di pabrik, maupun sekarang di perusahaan besar teknologi. Musik juga untuk semua umur.

Jadi menikmati musik di sini natural. Beda banget rasanya menikmati musik di sini dibanding di Indonesia. Di sini lingkungan sangat mendukung. Jadi lebih nikmat rasanya.

3. Banyak pilihan

Gila lah. Kalau browsing cari produk, termasuk produk alat musik, rasanya tidak berujung. Segala ada. Pengiriman cepat pula karena terhitung domestik. Begitu pula produk seperti merchandise musik, maupun konser.

Di sini bisa beli segala rupa, selama punya duit. Tapi seperti gue sebutkan di poin pertama, karena daya beli tinggi ya untuk kaos band aja sih mampu beli.

Jadi rasanya lengkap, main musik, bisa nonton konser, dan bisa beli merchandise musik. Seperti surga.

4. Sangat mudah membeli produk di Amerika

Di Amerika selain segala ada,  mudah pula membelinya. Baik lewat online maupun ke toko langsung.

Membiayainya pun mudah karena banyak banget perusahaan finansial yang bisa memudahkan orang beli produk.

Setiap retailer instrumen musik besar punya kartu kredit sendiri, atau bekerjasama dengan perusahaan pembiayaan. Belum lagi berbagai perusahaan buy now pay later  yang bisa digunakan di semua online retailer maupun di toko tradisional. Retailer umum seperti Amazon juga menjual banyak instrumen musik di marketplace dan punya kartu kredit sendiri.

Pembiayaan yang dipecah menjadi beberapa kali ini memudahkan orang Amerika membeli produk instrumen musik. Kalaupun misalnya tidak punya cash, masih bisa beli dan menerima barangnya di muka.

Lengkapnya bisa kamu lihat di video Membiayai American Dream di akun YouTube gue.

Karir berakhir, musik tidak. Malah berubah fungsi

Tidak semua orang harus jadi musisi profesional. Paradigma gue memandang musik pun berubah. Salah satu pelajaran hidup karena pindah dan tinggal di negara maju. Di sini orang bertalenta dihargai. Jadi seperti teman-teman gue, ketika mereka tahu gue musisi, semua merasa senang untuk berinteraksi dengan gue. Istilahnya musik menjadi ice breaker.

Selain itu, musik juga menjadi creative rest buat gue. Ini bagian dari komitmen gue akan kebugaran mental gue sendiri. Karena kalau cuma kerja dan cari duit, di sini bisa gila.

Jadi, esensinya, meski tidak aktif di industri, musik tetap tidak ternilai untuk kehidupan gue.

Era Fantastis untuk Bermusik

Seingat gue, tidak ada lagi era yang lebih tepat untuk bermusik selain saat ini. Dengan begitu banyak konten musik dengan kualitas tinggi tersebar di mana-mana, buat gue sulit sekali untuk tidak tergoda untuk bermusik kembali.

Nikmati!

Author: Robin Christian Malau

Content creator & jack of all trades living in SF Bay Area, California. SE Asian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *