Minggu lalu saya melakukan perjalanan bisnis singkat ke Singapura untuk mengikuti konferensi All That Matters 2015. Ini adalah kunjungan saya ke-3 kalinya ke negara tersebut. Yang pertama tahun 2005 untuk liburan, sementara itu yang kedua tahun 2012 kunjungan bisnis untuk mengikuti workshop Lean Startup Machine.
Untuk yang belum pernah melakukan perjalanan bisnis, Singapura layaknya sebuah kantor besar, tempat orang-orang berkumpul mencari cara untuk menjual produk ke negara-negara sekitar. Apapun yang terjual di negara tetangga, bisnisnya harus melewati Singapura dulu. Itulah makanya negara yang kecil dan “hanya punya pelabuhan” tersebut bisa memiliki kekuatan ekonomi paling kompetitif ke-3 di dunia, hanya di bawah Amerika dan Hong Kong. Tapi di atas negara maju seperti Kanada, bahkan negara-negara sangat maju Eropa. Sangat impresif.
All That Matters
Konferensi tahunan ini sudah berlangsung 10 tahun. Setiap tahun kategori acara berubah-ubah, sesuai dengan apa yang sedang terjadi di industri media dan entertainment di kawasan Asia.
Untuk tahun 2015 yang diselenggarakan di Ritz Carlton Millenia, ada 3 tema. Yaitu Music Matters, Live Matters dan Video Matters. Ketiga tema tersebut sangat berhubungan dengan musik. Salah satu petunjuk fakta bahwa di Asia, industri musik sedang berkembang dan sedang menjadi pusat perhatian dunia. Tidak cukup hanya itu, di dalamnya ketiga tema besar, ada lagi sub-tema seperti Sync Matters yang berada ditengah Music dan Video, dan Sponsorship Matters yang berada ditengah Music dan Live.
Saya menjadi moderator salah satu diskusi di panel “Gateway to Asia” di hari pertama. Selain Indonesia, ada juga India, Australia dan Taiwan. Panel ini termasuk di program Music Matters.
Kami tiba sehari sebelum acara dan menginap di Marina Mandarin, hotel di dekat tempat pelaksanaan. Sebelum acara dimulai, saya mencoba mencari informasi bagamana mencapai tempat acara dari hotel. Ternyata berjalan kaki hanya memakan waktu 7-8 menit lewat Marina Square, shopping mall yang menghubungkan kedua hotel tersebut. Setelah mengetahui lokasi, saya mendaftar sambil mengambil VIP Pass, dan buku program.
Gateway To Indonesia
Hari pertama dimulai dengan bangun pagi dan ke lokasi pagi sekali. Sempat melintas dikepala bahwa jam 10:45, waktu mulainya sesi “Gateway To Indonesia”, lokasi pasti masih sepi. Ternyata, setelah masuk ke ruangan Millenia 1 tempat dilaksanakannya acara, saya cukup terkejut melihat antusiasme penonton yang memenuhi tempat. Ada kurang lebih 200 orang duduk menonton sesi sebelum kami, yaitu panelis dari India. Di belakang masih banyak yang berdiri karena tidak kebagian kursi. Ternyata orang-orang sangat serius mengikuti acara ini. Wow!
Setelah 45 menit sesi India, kami pun naik ke atas panggung. Panelis terdiri dari Jamie Robertson (MixRadio), Yonathan Nugroho (ASIRI/Trinity Production) dan Hang Dimas (Langit Data Indonesia).
Pembicaraan kami berkisah seputar bagaimana Mix Radio sebagai perusahaan music streaming yang sudah melayani pasar Indonesia selama 5 tahun mendapat pengetahuan yang sangat dalam. Jamie juga menemukan banyak salah kaprah soal music streaming di Indonesia, salah satunya adalah koneksi internet. Yang Jamie temukan banyak sekali tempat yang tercakup dalam jangkauan koneksi internet. Dan tentunya, karena sebenarnya music streaming tidak memerlukan internet super cepat.
Sementara itu dari Yonathan, perusahaan rekaman di Indonesia juga mengharapkan bahwa layanan music streaming bisa berkembang di Indonesia, karena akan menjadi tambahan penghasilan yang potensial. Bahkan Yonathan meramalkan bahwa adopsi music streaming di Indonesia di masa depan bisa cepat sekali.
Dimas menambahkan bahwa UU Hak Cipta yang baru juga akan membantu layanan streaming untuk menyelesaikan masalah lisensi dengan pencipta dan pemilik hak dengan lebih mudah dari sebelumnya. Ini juga akan membantu pemilik konten untuk bisa mencapai penggemar lewat layanan streaming.
Di tengah pembicaraan, saya sempat bertanya kepada penonton, berapa banyak yang sudah pernah mengunjungi Indonesia. Dari sekian banyak yang hadir, kurang dari seperempat mengangkat tangannya. Berarti, sebagian besar dari mereka belum tahu sama sekali pasar Indonesia, dan panel ini bisa sangat berguna untuk mereka. Setelah membuka kesempatan untuk pertanyaan dari penonton, dan beberapa pertanyaan kepada panelis, diskusi saya tutup dengan pesan optimis, “See you in Indonesia“.
Selesai diskusi, orang-orang berkerumun di atas panggung dan kamipun bertukar kartu nama. Hanya lewat 1 sesi tersebut, saya mendapat hampir 50 kartu nama dari pebisnis yang berasal dari seluruh dunia. Ini juga saya rasakan selesai berbicara di Pitching Party ketika mengikuti rangkaian trip ke festival The Great Escape bersama Britih Council. Sungguh berbeda suasananya seusai berbicara di Indonesia. Biasanya, turun dari panggung, mayoritas orang Indonesia hanya diam saja.
Konferensi
Setelah panel diskusi selesai, saya bisa bernapas dengan lebih lega karena tugas utama sudah selesai. Saya membuka buku Programme dan bebas memilih diskusi mana saja yang akan saya ikuti. Selain konferensi yang terbuka untuk semua pengunjung, juga ada beberapa meeting dan networking yang bentuknya breakfast, coffee break maupun lunch yang sifatnya invitation only. Beruntung saya memiliki akses VIP, jadi saya bisa ikut yang acara mana saja yang saya mau.
Setelah lunch, saya sempat meeting dengan beberapa pihak digital service provider (DSP) yang akan bekerjasama dengan Musikator di masa depan. Juga dengan pengelola bisnis musik di ekosistem digital. Hari yang sangat produktif, dan tampaknya semua orang benar-benar menggunakan event ini untuk melakukan pendekatan bisnis. Suasananya luar biasa. Meski letih, tapi banyak sekali pelajaran yang bisa didapatkan.
Saya juga sempat mengikuti 2 seminar di grand ballroom, tentang potensi industri Live. Yang termasuk di dalamnya ada keynote dari COO dari AEG Worldwide dan CEO AEG Live. Tampak jelas bahwa perusahaan sekelas AEG sudah benar-benar memasang mata dan pikiran ke negara-negara Asia, termasuk Asia Tenggara. Ini akan merubah “permainan” yang ada, setelah perusahaan seperti Live Nation masuk dan mulai beroperasi di Indonesia.
Pulang dari konferensi saya beristirahat sebentar di hotel sebelum melanjutkan ke “Rdio Secret Session” di Rdio Home, di kawasan yang penuh dengan bar dan restoran di tengah kota. Hari yang padat tersebut ditutup dengan bertemu dan berbicara santai dengan orang-orang dari sektor musik digital.
Di hari kedua saya mengikuti beberapa konferensi lagi seperti “Branded Content and Consumer Engagement” di dalam program breakfast yang disponsori Singapore Toursim Board, “Branding live: Structures of the modern brand and artist partnerships”, “Industry update: Mobile-led music services”, keynote dari Terry Ellis (founder dari Chrysalis Records yang dianggap sebagai “rumah” dari artis-artis seperti Led Zeppelin, David Bowie, Jethro Tull, Billie Idol, Blondie, dan Spandau ballet), “Alternative revenue streams: The need to create content outside traditional revenue streams”, dan diakhiri dengan menonton diskusi “In the club and beyond: EDM across Asia”. Diskusi terakhir saya ikut lebih karena teman saya Rahul Kukreja menjadi bagian dari panel. Hari ini ditutup dengan mencoba bir segar di depan hotel David Karto dan pesta di Music Matters Live di kawasan Clarke Quay.
Di hari terakhir, saya sempat mengikuti sesi interview dengan CEO dari KKBOX, diskusi “Transparency in the music streaming and video age”, presentasi dari PepsiCo tentang program “Artist Accelerator”, “Ups and downs: Streaming service update for Asia”, dan ditutup dengan wawancara dengan CEO dari Merlin.
Pelajaran dan Kesan
Saya sangat terkesan dengan penyelenggaraan acara. Belum pernah saya mengunjungi event media dan entertainment sekelas ini di Indonesia. Karena selain belum ada, juga terlihat sekali pengunjungnya punya dorongan yang lebih kuat untuk networking dibanding pengunjung di Indonesia.
Beberapa momen di All That Matters yang berkesan adalah:
1. Pujian dari pengelola All That Matters, yang mengirim email dengan judul “Gateway to Indonesia Panel Rocked at Music Matters”:
“I wanted to write and thank you for your huge contributions in the intense and thought provoking programme! We have had great feedback from the delegates about your panel. It was definitely one of the highlights of the event!”
Yeay!
2. Terry Ellis di keynote-nya berkata:
Between 1985 and 2000 the record sales tripled and this led the industry to believe the music industry was the record industry. That was a crucial mistake. The music business and the record business are quite separate.
Artists used to think that ‘getting that big record deal was essential’. This put the record companies in a position of tremendous power. We began to see an almost master-servant relationship… which is incredibly unhealthy in a creative business.
Barriers to entry to the market have lowered…. Success is now dependent on efforts and talents of the musician rather than the efforts and talents of a record company guy.
Sejalan dengan gagasan saya untuk program pengembangan musisi di Indonesia.
3. Emma Banks, seorang “super agent” dari UK bilang, dulu dia harus melewati rasa sakit untuk menyetujui materi promosi show artis-artisnya di Indonesia, sekarang tidak. Pasar sudah berubah.
Saya setuju dengan analisa ini. Menurut saya hanya pemasar yang malas lah yang mencekoki pasar Indonesia dengan produk yang norak. Mereka hanya ingin mencapai banyak orang tanpa mau repot untuk menganalisa dan membuat produk sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
4. Chee Meng Tan, Director of Label Relations dari Spotify mengatakan bahwa untuk mengoptimalkan kesempatan berbisnis dengan DSP seperti Spotify, maka artis dan label harus benar-benar melihat dari sudut pandang global.
Saya juga setuju dengan sudut pandang ini. Artis Indonesia tidak pernah mendapat kesempatan lebih baik dari sekarang, untuk mendapat exposure ke seluruh dunia lewat kerjasama dengan DSP. Bahkan mereka tidak perlu label lagi, hanya perlu aggregator seperti Musikator.
Jadi yang dibutuhkan adalah pola pikir dan paradigma baru.
5. Chris Lin, CEO dari KKBOX menganggap bahwa sebenarnya industri musik bersaing dengan industri game untuk mendapatkan pembeli. Kedua industri membidik pasar yang serupa. Bahkan lebih jauh Chris melihat bahwa industri game telah melangkah lebih jauh daripada industri musik:
"If we don't do dramatically different thing in the music industry, I think we'll be crushed by Candy Crush". -Chris Lin #qotd #matters2me
— Robin Malau (@lowrobb) May 22, 2015
Kesuksesan KKBOX di Asia adalah karena mereka sangat mengerti pasar Asia yang fragmented, dan menawarkan layanan yang beragam, (tidak seperti kebanyakan DSP yang berasal dari Eropa dan Amerika), maka dari itu KKBOX bisa sangat sukses, bahkan di Jepang dan Korea, dimana DSP lain bisa disebut gagal.
6. Antony Bay, CEO dari Rdio mengatakan bahwa tantangan music streaming lebih besar dari kala teknologi lain men-disrupt industri musik (barusan saya menggunakan kata-kata saya sendiri), karena ada debat yang mempertanyakan “bagaimana harga free (mium) yang ‘adil'”. Lebih jauh Antony juga mencoba bertanya dari perspektif lain, “Berapa harga bensin yang adil?”.
Juga soal industri TV, dari dulu ada TV ada yang free dengan penghasilan melalui ad-funded. Bahkan TV langganan baru ada setelah free TV. Mengapa free streaming menjadi masalah, sementara TV tidak?
Selain itu, menurutnya pekerjaan rumah pengelola DSP adalah bukan hanya mencari model bisnis yang inovatif dan relevan dengan jaman, tapi juga bagaimana mengaktivasi konsumen yang sudah ada.
Memang pekerjaan perusahaan-perusahaan ini lebih berat, karena nature-nya yang baru dan kompetisi DSP yang semakin padat.
7. Pendekatan dari tiap DSP tampaknya mulai terasa ada diferensiasi. Keseragaman layanan adalah salah satu topik debat hangat tahun lalu di The Great Escape, di mana layanan streaming tampaknya tidak bisa memberikan layanan yang berbeda dari layanan lain.
Misalnya Jamie Robertson dari MixRadio tidak setuju dengan Stephen Deane, Global Commercial Director dari Guvera. Menurut Jamie, MixRadio ingin menjadi layanan yang mengerti dan memberi layanan yang berbeda untuk tiap-tiap konsumennya, sementara itu Guvera tampaknya fokus pada strategi branding dan pendekatan visual.
8. Istilah streaming juga menjadi perdebatan tersendiri, karena juga menciptakan banyak salah kaprah. Karena sebenarnya selain bisa streaming, pelanggan bisa juga mengunduh lagu dan menyimpannya offline di device.
9. Yang disepakati para pengelola DSP adalah bahwa Asia, termasuk SE Asia tidak bisa disebut sebagai “region“, melainkan “a group of countries” yang memiliki tantangan dan tuntutan pasar yang masing-masing berbeda. Inilah makanya KKBOX, yang paling mengerti pasar Asia, paling sukses dan ingin diemulasi oleh DSP lain.
10. Mengenai sponsorship dan branded content, sering terjadi salah kaprah saat pemilik merk terlalu mengandalkan User Generated Content. Campaign yang lebih banyak berhasil adalah User Inspired Content, jadi tidak terlalu bergantung pada pengguna, tapi yang lebih penting adalah bagaimana mendapatkan insight dari pengguna yang kemudian dioptimalkan menjadi sebuah cerita, dan dilakukan oleh storyteller profesional.
Pertanyaan yang harus dijawab ketika sebuah merk ingin menjadi bagian sebuah cerita adalah, “Apakah ingin menjadi bagian dari branded content atau hanya mau menjadi part of content“? Menggunakan content sebagai bagian dari strategi adalah sebuah upaya jangka panjang. Jadi semakin dalam dan semakin berguna content yang diciptakan, semakin efektif strategi tersebut. Pemilik merk jangan hanya ingin menjadi cover dari sebuah cerita (seperti kebanyakan merk yang hanya mengerti bagaimana menyimpan logo perusahaannya), tapi lebih penting untuk menjadi part of the story.
11. Branding dalam industri Live strateginya sangat beragam, sponsorship pun bermacam-macam. Pemilik merk bisa bekerja sama dengan banyak pihak, misalnya artis, agency, promotor atau bahkan venue. Masing-masing akan menghasilkan rights yang berbeda pula. Jadi pemilik merk harus menentukan terlebih dahulu apa tujuan sponsorshipnya, baru memilih strateginya, dan mengukur efektivitasnya dari situ. Lagi-lagi, jangan sekedar ingin menyimpan logo dalam mensponsori live music.
12. Pelajaran terakhir adalah pengetahuan yang sangat penting dimiliki oleh pemasar musik modern, dari Charles Caldas, CEO dari Merlin. Dalam interview-nya, Charles menunjukkan penghasilan dari DSP label-label yang bergabung dengan Merlin naik terus. Menurut Charles, free user tidak semuanya sama. Jadi perlakuannya pun seharusnya tidak sama. Memang ada yang zero valued customer, yaitu mereka yang menganggap free sebagai end product, atau biasa kita kenal sebagai orang yang memang tidak mau bayar. Tapi ada juga yang tidak, yaitu mereka yang bisa dikonversi menjadi pelanggan. Inilah yang menjadi dasar perusahaan seperti Spotify, Guvera dan Deezer yang mengelola bisnis freemium, yang sejauh ini cukup berhasil membuat pengguna gratis menjadi pelanggan (berbayar).
Tiga hari di Singapura kali ini memberi kesan mendalam, selain dari kemampuan penyelenggara yang menyatukan begitu banyak pengelola bisnis media dan entertainment dalam 1 acara, juga kemampuan Singapura yang bisa menjadi tuan rumah yang nyaman. Orang-orang hebat!
Dokumentasi:
Ada beberapa dokumentasi yang saya kumpulkan selama All That Matters, tanggal 20-22 Mei 2015, tiga hari yang tak terlupakan, seperti bisa dilihat di bawah ini: