Seperti kita tahu, kemarin Facebook mengakuisisi Whatsapp. Atau, seperti @StartupLJackson bilang merger, bukan akuisisi.
Whatever.
Tiba-tiba, seharian kemarin semua orang jadi ahli merger & acquisition. Mungkin karena kaget dengar value perusahaan yang baru berumur 4 tahun ini. Mungkin juga karena begitu mudah menjadi ahli di social media. Mungkin juga ada alasan lain. Sayangnya, membahas banyaknya duit yang diterima oleh founder Whatsapp dan VC-nya tidak menambah duit kamu di bank.
Tapi ada 1 pelajaran sederhana tapi sangat fundamental yang tidak banyak menjadi perhatian para ahli M & A ini. Yaitu penolakan Twitter dan Facebook untuk mempekerjakan Brian Acton, founder Whatsapp. Bahkan menurut Forbes, Jan Koum pun mendapat penolakan yang sama.
Buat saya bukan penolakannya. I mean, look at this guy. Dia menandatangani perjanjian M & A sebesar $19 milyar dengan posisi seperti ini. Recruiter di Twitter dan Facebook pasti ngga ngeuh potensi orang ini jika hanya melihat portfolio dan surat lamaran yang dikirim. Wajar kalau otak dan analisis mereka ngga nyampe. The thing is, recruitment system taught in business school is utter shit. Dan terbukti sekali lagi kemarin, kesalahan team recruitment Facebook.
Gini, proses rekrutmen tradisional (baca: jaman purba) dimulai dengan penerimaan resume (atau CV atau Portfolio). Yaitu sebuah dokumen yang gunanya hanya 1: untuk menemukan kekurangan pelamar agar menemukan alasan untuk menolak lamaran kerja kamu. And that’s that. Kamu diterima atau ditolak bekerja karena secarik kertas itu saja.
Saya juga punya pengalaman pribadi tentang melamar kerja. Sudah 20 tahun sejak saya pertama kali mengirim surat lamaran kerja, dan puji tuhan saya tidak pernah diterima bekerja. Serius. Bahkan hingga tahap wawancara pun tidak pernah. Sekalipun tidak pernah. Sekalipun tidak. Gagal terus. Tapi, di portfolio, saya berkesempatan jadi karyawan, jadi partner, jadi agency, perusahaan-perusahaan terbesar dan tersukses di bidang masing-masing. Kenapa? Karena rekrutmen = adalah proses mencari yang termurah. Dan tampaknya, saya tidak pernah jadi yang termurah. Seperti Seth Godin bilang, “Most jobs seek the low bidder, the person desperate enough to work cheap, or to sign up right now, and most jobs stress that ‘this is a great place to work'”.
Saya ingat ketika tiba-tiba dihubungi dosen dari Universitas Pelita Harapan suatu hari di tahun 2009. Beliau meminta saya mengajar disana. Setelah beberapa bulan bernegosiasi, akhirnya kami mencapai kesepakatan. Maka saya pun mulai mengajar. Di hari pertama, saya dijadwalkan untuk di wawancara oleh HR Director. Konon untuk basa-basi saja. Soalnya, mau ngomong apa juga saya sudah diterima bekerja. Ketika di ruang tunggu, saya duduk di sebelah bapak-bapak yang terlihat gugup. Beliau membawa sebuah map besar. Kelihatannya ijasah. Soalnya ijasah besarnya tidak biasa (FYI, ini kritik). Kemudian ada seorang staff, bukan di level manajerial pastinya, menemui bapak tersebut. Wajahnya judes. Terus dia bilang, “Ok. Mana ijasahnya?”. Si bapak membuka map yang dia pegang, mengeluarkan beberapa lembar kertas besar (IJASAH, BENER KAN!) sambil berkata, ” Ini ijasah S1. Ini ijasah S2. Ini ijasah S3″. Di dalam hati saya berpikir, “Shit. Udah sekolah sampe S3 masih harus ngeladenin staff jutek ngehe gini? Gue sih ogah”. Kemudian si staff jutek melanjutkan kejutekannya, “Surat lamarannya mana ya?”. Sebelum si bapak menjawab saya dipanggil untuk masuk ke ruang direktur HR, atasan si staff jutek tadi.
Pertanyaan pertama adalah, “Pak Robin sebelum disini mengajar dimana?“. Saya menjawab, “Oh. Saya belum pernah mengajar, Pak“. Pak Direktur agak tergagap. Seperti berpikir… “Lah, kok orang seperti ini bisa lolos?”. The rest is history. I gave no single fuck. Here’s why lecturer recruitment in most universities are utter shit. Untuk melamar menjadi dosen, maka calon dosen harus punya pengalaman menjadi… dosen. Lah… Piye?
…
Kembali ke Whatsapp. Orang brilian seperti Jan Koum dan Brian Acton dihadapkan dengan recruiter amatiran ya lepas ga ketangkep. BYE you fucking weirdos, you don’t meet our standards. BYE… 4 tahun kemudian… $19 milyar…
Jadi apa pelajarannya? When people say no to you just because you do what you believe, even if that make you weird, don’t give a single fuck.
Update:
Artikel ini bagus sekali dan sangat relevan: “Facebook’s Billion-dollar Hiring Lesson — the Business Case for Eliminating Missed Hires“.