Dalam dua bulan terakhir saya diundang untuk menghadiri tiga acara yang berfokus pada pengembangan pasar musik di Taiwan dan Korea Selatan. Acara-acara tersebut adalah Golden Melody Festival & Awards di Taipei, serta MU:CON dan Zandari Festa di Seoul. Meski ketiganya memiliki kelebihan dan target spesifik yang berbeda, semua punya misi yang kurang lebih sama, yaitu untuk mengenalkan musik lokal kepada dunia luar.
MU:CON misalnya, di tahun 2017 penyelenggara mengundang 195 delegasi dari Amerika, Inggris, Perancis, Jerman, Australia, Swedia, Polandia, Hungaria, Kanada, Jepang, Rusia, Chili, Kroasia, Wales, Vietnam, Kuba, Mongolia, Cina, Hong Kong, Thailand, Taiwan, Singapura, Indonesia dan banyak lagi. Acara ini menghasilkan 1.049 pertemuan dan mendapat 1.635 pembeli produk musik Korea Selatan. Sementara itu Golden Melody Festival di tahun 2016 dapat menghasilkan transaksi untuk musik Taiwan hingga mencapai NTD $5.8 milyar.
Ketiga acara ini juga merupakan pionir acara sejenis di kawasan Asia. MU:CON dan Zandari Festa sudah dimulai sejak tahun 2012, sementara itu Golden Melody Festival sejak 2010 (digabungkan dengan Golden Melody Awards, yang sudah ada sejak tahun 1990). Saya merasa terhormat karena jadi satu-satunya orang Indonesia yang diundang ke semua acara tersebut tahun ini.
1. Podium untuk bertemu dengan siapa saja
Meski sedikit berbeda dalam pelaksanaan, ketiganya memiliki kesamaan, yaitu menjadi platform tempat siapa saja bisa bertemu dengan siapa saja. Jika terdengar tidak masuk akal, berikut ceritanya.
Tujuan acara sejenis adalah untuk mempertemukan berbagai pihak yang berkepentingan di industri musik. Biasanya salah satu kegiatannya adalah “Business Matching”. Pada kegiatan ini, sejak jauh hari, organisasi dapat mengatur pertemuan dengan organisasi lainnya.
Caranya, delegasi mendaftarkan perusahaan dan organisasi yang diwakili. Kemudian delegasi lainnya bisa melihat daftar, memilih organisasi yang ingin ditemui, dan mengatur meja tempat pertemuan. Waktu pertemuan berbeda-beda. Di MU:CON misalnya, delegasi hanya dapat bertatap muka selama 15 menit, sementara itu di Golden Melody, delegasi dapat menggunakan meja selama 30 menit. Tentunya masing-masing memerlukan strategi khusus untuk memanfaatkan keterbatasan waktu yang tersedia.
Golden Melody Festival dan MU:CON menggunakan sistem yang hampir serupa, yaitu menggunakan pengaturan lewat aplikasi web. Sementara itu pendekatan Zandari Festa sedikit berbeda, yaitu dengan mengatur agar delegasi dapat menonton penampilan band sebanyak mungkin. Tetapi ketiganya bisa mencapai tujuan yang sama: yaitu menjadi podium untuk semua pihak yang terlibat untuk saling bertemu, bertukar informasi, dan membuka peluang bekerja sama.
2. Musik yang tidak Inklusif
Untuk memberikan pengaruh yang luas, musik tidak boleh inklusif dan harus menjadi bagian yang terintegrasi dengan ekosistem budaya lain. Ini terasa sekali di Zandari Festa. Selama tiga hari, festival tersebut dilaksanakan di 10 live house yang semuanya berlokasi di wilayah Hongdae, Seoul. Tempat ini dikenal sebagai wilayah tempat berkembangnya seni perkotaan dan musik independen.
Selama 3 hari, penonton berpindah-pindah antar live house yang jaraknya berdekatan untuk menonton show lebih dari 200 band yang datang tidak hanya dari Korea Selatan, tapi juga dari seluruh dunia. Wilayah pertunjukan musik tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian di area yang dipenuhi restoran, toko, dan klab malam tersebut. Karena terintegrasi dengan sektor lain, walhasil siapa saja jadi memiliki akses ke pertunjukan musik.
Disain seperti itu sangat berperan strategis untuk memaksimalkan peran musik dalam membangun ekosistem industri budaya. Karena dengan mengintegrasikan musik, maka seluruh ekosistem dapat mendapat keuntungan. Yang paling tradisional misalnya, musik dapat menarik lebih banyak pengunjung yang menciptakan kegiatan sosial seperti kumpul-kumpul dan pertukaran informasi. Kegiatan musik yang tidak inklusif dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, yang tentunya bukan hanya bisa dinikmati penggiat musik, tetapi juga semua pelaku ekonomi budaya, bahkan seluruh masyarakat.
3. Partisipasi Perempuan
Perempuan adalah bagian penting dalam ekosistem musik. Keterlibatan mereka tampak jelas terjadi di kedua negara, terutama di Taiwan. Inti permasalahannya adalah bagaimana industri musik dapat mengunakan dan mengoptimalkan semua potensi yang ada, baik potensi dari laki-laki maupun perempuan. Tanpa prinsip ini, ekosistem musik tidak mungkin membuahkan hasil yang optimal pula.
Di Taiwan misalnya, dari mulai presiden, pejabat negara, hingga pelaku industri musik yang saya temui di sana selama Golden Melody Festival kebanyakan perempuan. Kemungkinan, ini juga yang menyebabkan musik populer Taiwan bisa dibilang superior di pasar musik berbahasa Cina, dibanding dengan negara lainnya.
Meskipun banyak musisi perempuan, sayangnya di semua panel konferensi baik di Taiwan maupun Seoul, masih minim sekali partisipasi mereka. Mungkin itulah cerminan industri musik kita, yang masih didominasi oleh laki-laki. Tetapi kita bisa memperbaiki ini dan menciptakan masyarakat musik yang lebih baik.
4. Pengembangan Penonton
Musik di sebuah tempat tidak bisa berkembang jika tidak ada program untuk mengembangkan penonton. Hal ini terlihat di gedung MBC (Munhwa Broadcasting Corporation – Munhwa berarti “budaya”), sebuah gedung milik publik tempat hampir semua kegiatan MU:CON dilaksanakan. Pengunjung berumur 5 tahun ke atas bisa masuk ke gedung ini dan menikmati sajian budaya di sana, termasuk musik. Di hari pertama festival showcase, beberapa delegasi, termasuk saya, mencoba masuk gedung sambil membawa segelas bir. Kami pun dilarang masuk.
Lokasi yang bertema semua umur sangat penting untuk pengembangan apresiasi budaya. Karena berarti, pendidikan kebudayaan bisa dimulai sejak dini. Di MBC, saya menyaksikan beberapa kunjungan studi tur anak-anak SD, yang menyambangi beberapa bagian gedung yang berisi pameran, instalasi seni, dan fotografi. Ketika besar nanti, mereka diharapkan sudah terbiasa menikmati dan mengapresiasi budaya, tentunya termasuk musik.
Pada salah satu show case di Zandari Festa, saya juga sempat menyaksikan momen belasan remaja perempuan di awal 20-an bergerombol masuk di salah satu konser. Dan mereka tampak menikmati sekali konser musik rock and roll. Beberapa diantara mereka nonton sambil sesekali menenggak bir. Dari panggung ke panggung, saya selalu melihat ada orang yang menikmati musik yang disajikan. Tidak masalah sedikit atau banyaknya. Tetapi selalu ada yang datang menikmati. Mereka juga tampak tidak malu untuk mengekpresikan perasaan mereka dengan cara ikut berdendang, menari, atau sekedar tersenyum berdiri sambil sesekali mengacungkan tangan.
Saya jadi ingat kata-kata teman saya Prof. Jeremy Wallach, etnomusikolog di bidang studi musik populer, bahwa generasi sekarang adalah generasi yang paling tidak tertarik pada musik rock and roll. Saya juga melihat itu di banyak tempat di Indonesia. Tapi tampaknya, salah satu pengecualian adalah generasi penikmat musik di Seoul.
5. Kreativitas itu Global
Musik yang diciptakan bersifat eksklusif. Hanya ada 1 komposisi lagu yang secara unik diciptakan dan terdaftar sebagai ciptaan seseorang. Ini berlaku di seluruh dunia. Jadi dalam forum yang dikunjungi orang dari berbagai penjuru dunia, tidak bisa lagi kita puas menjadi peniru. Tuntutan menjadi artis orisinil adalah mutlak. Hasilnya, kita jadi terpaksa menciptakan sesuatu yang unik agar ikut berkontribusi pada kekayaan ciptaan musik dunia, yang semakin hari semakin terkoneksi.
Ada catatan penting dari salah satu panel di MU:CON yang menampilkan Martyn Elbourne dari Glastonbury, James Minor dari SXSW, dan David Pichilingi dari Sound City; bahwa pasar di Inggris, Eropa dan Amerika menuntut sesuatu yang unik dan berbeda dari yang secara tradisional disukai di sana. Lebih jauh menurut Didier Zerath, manajer artis senior yang memberikan kuliah berjudul “The Future of Artist Management”, masih di MU:CON, kata kuncinya adalah “menjadi diri sendiri”. Terdengar mudah, tapi relatif sulit untuk orang Indonesia yang sudah punya kebiasaan menjadi peniru. Singkatnya komposisi lagu yang ingin dipasarkan harus memiliki unsur global tetapi pada saat yang sama memiliki keunikan.
Untuk mengerti bagaimana menjadi diri sendiri, salah satu jalannya adalah membuka diri dan menjadi bagian dari dunia internasional. Seperti yang dilakukan oleh Taiwan dan Korea Selatan. Tentunya secara sistem mereka sudah jauh lebih siap daripada Indonesia. Tapi kita bisa belajar banyak dari mereka.
6. Infrastruktur dan Narasi Sejarah
Musik tidak mungkin berkembang tanpa ada narasi sejarah sebagai titik tolak. Salah satu medium untuk mengkoleksi sejarah paling efektif adalah medium yang berbentuk fisik; yaitu live house. Setiap pertunjukan musik memiliki cerita sendiri, dan cerita-cerita itu diceritakan kembali berulang kali dan jadi lebih bermakna.
Seoul memiliki cukup banyak live house skala kecil hingga menengah yang dikelola secara serius dan kerap digunakan untuk pertunjukan musik. Di live house yang berada di kawasan Hongdae, Seoul, terlihat sejarah musik independen di sana lewat poster-poster pertunjukan, stiker dan atribut lainnya. Resmi sudah, setiap musisi yang manggung di Zandari Festa tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan sambungan dari kegiatan bersejarah.
Tanpa bangunan sejenis, hampir mustahil narasi musik sebuah tempat bisa tercipta. Tentu ada media atau format digital. Tapi gedung fisik dapat diakses dan dirasakan lebih dalam oleh lebih banyak orang dibanding medium lainnya.
Bangunan-bangunan untuk pertunjukan yang layak tidak dapat tercipta sendiri, tetapi harus lewat sebuah sistem yang memiliki tujuan dan disain. Idealnya ini dimulai dari kebijakan pemerintah yang mendukung ekosistem musik, yang termasuk live house di dalamnya, agar bisa berkembang di daerah tertentu. Termasuk di dalam paket kebijakan adalah perijinan bangunan untuk dioperasikan sebagai tempat-tempat pertunjukan musik. Kebijakan ini juga harus didukung oleh media dan diakui oleh golongan akademisi. Akhirnya, tentunya, peraturan tersebut harus dilihat sebagai peluang dan digunakan dengan sebaik-baiknya oleh pebisnis dan komunitas musik.
7. Identitas “Musik Asia”
Dalam sebuah forum di Zandari Festa berisi teman-teman pemilik dan pengelola festival di Asia, muncul pertanyaan, “Seperti apa itu Musik Asia?”. Diskusi berakhir tanpa ada yang menjawab. Asia adalah sebuah benua yang berisi berbagai bangsa dan budaya yang berada dalam beragam sistem politik, sosial dan ekonomi. Jadi rasanya mustahil untuk didefinisikan menjadi satu pengertian umum. Tetapi esensi dari pertanyaan tersebut sebenarnya adalah, identitas semakin penting dalam ekosistem musik global yang terkoneksi.
Kita, orang Indonesia, orang Asia, adalah bagian dari dunia. Ini tidak bisa dicegah maupun disangkal oleh siapapun. Kenyataan, ternyata lebih mudah mengidentifikasi “Asia” secara kolektif daripada “Halo, kami dari Thailand”, “…dari Korea” maupun misalnya “…dari Indonesia”, untuk mengajak berbicara dan mengeksplorasi kemungkinan bekerjasama, dengan orang dari benua lain.
Jadi, mengenalkan identitas Asia akan terdengar lebih kredibel dan lebih mudah dimengerti, daripada hanya mewakili negara tertentu saja. Ini bisa menciptakan lebih banyak peluang untuk masyarakat musik Asia agar bisa lebih didengar di benua lain. Dengan demikian, ada baiknya pemilik kepentingan di Asia lebih sering bertemu dan mencari peluang untuk berkolaborasi. Lewat beberapa pertemuan, inisiatif untuk membuat Asia sebagai satu masyarakat musik sudah dimulai di Zandari Festa.
8. Kehidupan Malam Aman
Seoul dan Taipei, keduanya adalah kota Asia yang global, modern, dan terbuka. Hari pertama saya tiba di Taipei untuk Golden Melody juga merupakan hari pertama musim panas. Jadi hawa memang terasa hangat sepanjang hari, dari pagi hingga malam. Jarak antara hotel tempat saya tinggal dengan live house tempat pertunjukan musik dapat ditempuh sekitar 15 menit dengan berjalan kaki. Di hari kedua saya kembali ke hotel sekitar jam 2 lewat tengah malam setelah pertunjukan usai. Di jalan, saya melihat masih banyak sekali perempuan muda berpakaian minim lalu lalang sendirian. Tentunya, hawa musim panas juga mendorong mereka untuk menggunakan pakaian minim. Tapi ini juga berarti perempuan di Taipei merasa aman untuk keluar rumah malam hari untuk menikmati suasana dan hiburan.
Keadaan serupa juga saya lihat di Korea Selatan. Di hari terakhir kami kembali ke hotel jam 5 pagi. Masih banyak restoran yang buka di seputar wilayah Hongdae. Bahkan di hari-hari sebelumnya, saya melihat masih ada antrian taksi panjang yang mengangkut penumpang jam 2-3 pagi. Seperti di Taipei, saya juga jadi ikut merasa aman di Seoul, kota yang baru saya kunjungi, untuk jalan kaki sendirian lewat tengah malam.
Lewat beberapa forum mengenai disain perkotaan, saya mengerti tidak banyak kota di dunia bisa membuat suasana aman di malam hari. Tapi Taipei dan Seoul bisa. Ini tentunya tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi lewat berbagai rekayasa sosial.
Di kota yang beroperasi 24 jam, musik akan menjadi bagian penting. Karena musik dapat menciptakan kegiatan yang mendorong banyak kegiatan ekonomi yang dihasilkan kehidupan malam. Kegiatan termasuk dan tidak terbatas pada penampilan DJ, pesta perayaan, pertunjukan musik lewat tengah malam dan sebagainya. Di kota yang mengelola ekonomi malam dengan terbuka seperti Amsterdam misalnya, banyak lokasi yang bisa digunakan untuk berbagai kegiatan berbeda. Banyak bangunan yang menjadi tempat pesta di malam hari, tapi juga menjadi tempat pengembangan kemampuan anak muda di bidang budaya di siang hari. Dengan demikian mengoptimalkan real estate bukan hanya masalah tempat, tapi juga masalah waktu. Singkat kata, istilah 9-5 bukan hanya berlaku di jam 9 pagi hingga jam 5 sore, tapi juga jam 9 malam hingga jam 5 pagi. Keluaran ekonomi dan sosial yang dihasilkan dapat berlipat ganda.
Pelajaran
Bukan kebetulan produk musik Korea dan Taiwan itu superior dibanding negara Asia lainnya. Hasilnya tentu saja tidak terbatas pada meningkatnya nilai ekonomi berbasis penciptaan dan penampilan musik, tetapi juga akan membuat kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. Belum lagi kelebihan lain seperti membuat merek kota/negara yang lebih berkesan, kemampuan berdiplomasi yang lebih berkelas dengan bangsa lain, dan memperbanyak kegiatan pariwisata.
Dari berbagai hal yang bisa dipelajari, apa yang bisa kita lakukan di Indonesia untuk juga bisa mengejar ketertinggalan? Ada banyak sekali, tetapi diantaranya adalah kita bisa:
- Membuat platform yang bisa menyambungkan musik Indonesia dengan dunia luar. Tentunya ini memerlukan disain yang efektif, dari mulai menentukan tujuan, melakukan persiapan di dalam negeri, hingga pengetahuan dan koneksi global yang tepat.
- Membuat disain program-program pengembangan musik yang tidak hanya bisa dinikmati komunitas musik saja, tetapi juga masyarakat luas dan ekosistem budaya lain.
- Melibatkan tenaga kerja perempuan agar bisa mengoptimalkan semua bakat yang ada dan tidak terbatas gender.
- Mendisain program pengembangan penonton dan penikmat musik di berbagai level, terlebih dan terutama di level kota.
- Mendorong kegiatan dan kesadaran penciptaan dengan membuka hubungan dan pertukaran dengan dunia internasional.
- Mendorong pemerintah agar menciptakan kebijakan yang mendukung pembangunan kawasan-kawasan yang bisa digunakan oleh anak muda penggiat budaya.
- Menciptakan identitas produk budaya yang orisinil sekaligus modern.
- Mulai terbuka membicarakan ekonomi malam dan segala kelebihannya.
Terima kasih Rolling Stone Indonesia
Artikel ini saya tulis untuk Rolling Stone Indonesia, edisi kedua sebelum terakhir dan menjadi cover story. Terima kasih Adib Hidayat, sebagai Editor in Chief, yang selama ini sudah percaya dan memberikan banyak kesempatan untuk menjadi kontributor salah satu majalah musik paling keren di Indonesia.
Juga kepada teman-teman jurnalis yang selama ini telah bekerja untuk jurnalistik musik di Rolling Stone Indnesia. Semoga sukses di pekerjaan berikutnya.