Pagi ini ada perbincangan menarik yang dimulai oleh Mas Didi dan Bang Win, kemudian Fikri Rasyid, Evan, Prima dan Wiku ikut bergabung. Tentang hidup di Bali. Ujungnya, jadi menghitung biaya hidup.
Setelah tinggal kurang lebih 8 tahun di Bali dan 2 tahun di Jakarta, saya bisa menarik kesimpulan bagaimana hidup di Bali jadi jauh lebih murah daripada hidup di Jakarta, yaitu: perbedaan budaya.
Ada beberapa biaya pokok yang menyebabkan hidup di Jakarta jadi mahal:
– Transportasi.
Jarak tempuh sebenarnya dari rumah saya di Cibubur ke kantor di Cipete, Jakarta Selatan sebenarnya hanya 30 menit. Ini bisa dibuktikan jika jalan kosong, malam hari lewat jalan tol. Tetapi pada jam kerja, saya bisa sampai kantor 1,5 – 2 jam karena macet. Untuk menghadapi macet, saya butuh mobil karena kalau pakai taksi kemahalan, pake bus transjakarta walhasil sampe kantor bau asem. Mobil yang dibutuhkan bukan mobil biasa, tapi mobil baru yang ga bakal overheat kalau dihajar macet seharian dan tranmisi automatic kalau tidak mau betis kiri lebih besar daripada betis kanan.*
Karena mobil baru yang rata-rata sudah menggunakan engine system injeksi, maka mobil tidak bisa diisi bensin premium jika ingin awet. Dianjurkan menggunakan Shell, karena harganya lebih murah daripada Pertamax dan pelayanannya lebih baik daripada Pertamina. Dan karena sering meeting di gedung, ada biaya parkir yang cukup mahal.
Bisa disimpulkan dengan memiliki mobil tersebut, maka pengeluaran akan ditambah lagi dengan biaya perawatan.
– Pakaian.
Jika Anda bekerja di agency seperti saya, hidup Anda akan dihabiskan dengan meeting dan meeting dan meeting dengan klien. Kebanyakan meeting tersebut dilakukan di kantor klien, yang kebanyakan berlokasi di office building. Untuk mencapai kantor klien di lantai beberapa belas, Anda harus naik lift. Di lift ada cermin besar (biasanya di pintu) yang menunjukkan apakah pakaian Anda layak atau tidak. Jadi Anda akan diingatkan bagaimana penampilan Anda setiap hari. Solusinya, Anda harus beli baju.
– Makan.
Jika jam kerja dihabiskan untuk meeting di luar kantor, apalagi di office building, maka biaya makan akan meningkat pula karena Anda harus makan di restoran gedungan.
– Rumah
Kerja di Jakarta itu berat. Anda butuh tempat tinggal yang layak kalau tidak mau burnt out. Tempat tinggal layak itu tidak murah di Jakarta.
– Liburan.
Kalau weekend Anda tidak mengambil libur, maka pikiran Anda di minggu berikutnya akan lebih mumet. Jika Anda mumet yang ujungnya berakibat stress, maka Anda tidak produktif. Tidak ada tempat orang tidak produktif di Jakarta. Biaya liburan di Jakarta adalah antara pergi ke Mall atau ke luar kota. Tidak ada pilihan murah.
Sementara itu di Bali:
– Transportasi
Di Bali Anda bisa hidup hanya dengan memiliki motor. Jalanan kecil, dan tidak perlu takut badan bau asem. Semua orang dari OB sampai boss disana keringetan dan bau asem karena tidak ada tempat ngumpet dari matahari. Jika Anda perlu mobil, tidak perlu mobil bagus. Yang penting tidak overheat kalau macet dan sebisanya gunakan mobil kecil. Bahkan tidak ada yang perduli jika Anda menggunakan mobil Jimny Katana karena toh turun dari mobil Lexus terbaru pun, Anda keluar pake celana pendek. Oh ya, di sebagian besar wilayah di Bali, Anda tidak perlu membayar parkir.
– Pakaian.
Boss saya, pemilik beberapa perusahaan clothing surf terbesar di Indonesia memakai celana pendek dan sendal jepit setiap hari. Tentunya, saya tidak perlu berpakaian lebih baik daripada boss. Di Bali tidak ada office building dan lift berkaca, sehingga tidak ada yang memberi tahu bahwa kerah t-shirt Anda sudah sobek, jadi Anda tidak perlu sering beli baju. Jika Anda bekerja freelance seperti saya di Bali, you don’t even need shoes. Saya tidak beli sepatu dari tahun 2005 – awal 2011 ketika tinggal di Bali. Hanya beli 1 sendal jepit baru setiap tahun.
– Makan
Di daerah wisata, terutama Kuta, Seminyak, Legian, Jimbaran, banyak sekali cafe dengan makanan ala barat. Makanan ini terhitung sangat murah dibanding dengan makanan ala barat di cafe-cafe di mall Jakarta (rasanya juga lebih enak, kokinya kebanyakan bule), jadi makanan western terasa lebih ‘authentic’ tapi murah. Sementara itu warteg dan warung nasi tersebar dimana-mana. Target market mereka adalah bule backpacker. Bule jenis ini sudah tau harga (setelah sebelumnya beberapa kali di rip off ketika menjadi turis), jadi warung nasi ngga bisa jual makanan dengan harga tinggi. Tinggal masalah selera.
– Rumah
Sewa rumah tentunya lebih murah. Di daerah Denpasar banyak sekali komplek perumahan dengan harga yang relatif murah, dan jarak dari Denpasar ke daerah-daerah lain di Bali tidak jauh. Contoh: jarak Kuta ke Ubud itu 30 km. Jarak rumah saya di Jakarta ke kantor 30 km. Tiap hari saya menempuh jarak sejauh itu.
– Liburan di Bali?
Gampang. Ada 2 pilihan murah. Yang pertama, keluar rumah dan mampir di Circle K beli es krim dan snack. Kemudian jalan-jalan deh ke Kuta atau Seminyak atau wilayah liburan lainnya. Disana semua orang ‘tersenyum’ karena sebagian besar dari mereka sedang liburan. Anda akan merasa sedang liburan juga. Pilihan kedua, biayanya hanya Rp 100 rb. Coba jalan ke pantai di Nusa Dua atau ke Jimbaran (30 menit dari Denpasar), ada beberapa pantai yang memiliki pasir putih disana. Beli Bir Bintang sebotol untuk Anda, Orange Juice untuk istri dan Pizza untuk anak. Berenang sampe puas.
Ini soal biaya hidup saja ya. Saya belum ceritakan semua disini, karena tentunya ada pro-kontra nya tinggal di Bali (jika Bali itu sempurana, maka saya tidak akan pindah ke Jakarta).
*Mobil saya tidak matic, dan betis kanan saya lebih besar daripada betis kiri gara-gara dulu maen skateboard. Jadi ya mungkin ujungnya keduanya bisa sama besar :p
hai kak, saya tahun ini rencana kuliah di bali, pindah dari jakarta. lanjutin dong kak kenapa pindah dari bali ke jakarta? sangat membantu. trims