Setelah melewati hari pertama dan hari kedua yang cenderung santai karena belum ada kegiatan, tibalah hari ketiga yang padat acara. Seperti hari pertama dan kedua, hari ketiga juga dimulai dengan sarapan ala Inggris dalam porsi yang sangat besar tapi bedanya tak lama setelah sarapan rombongan harus segera berangkat ke kantor Songkick di Hoxton Street. Dari hotel kami naik bis (that famous Red Bus) kesana. Saya duduk di lantai dua, agar banyak bisa melihat pemandangan.
Saya duduk di sebelah Dominique, YCE dari Afrika Selatan. Sambil melihat-lihat kota London, kami bercerita soal anak masing-masing. Saya cerita bagaimana bahagianya anak saya ketika saya diumumkan sebagai pemenang YCE 2014 Indonesia, karena anak saya berpikir bahwa dia akan diajak trip ke UK, dan kemudian, betapa kecewanya ketika dia tahu dia tidak diajak. Kids are amazing!
Mengunjungi Songkick HQ
Setelah melewati perjalanan sekitar 40 menit, kami tiba di dekat Hoxton street dan berjalan kaki ke kantor Songkick. Tiba di sebuah tempat seperti ruko, kami naik ke lantai 3 tempat kantor Songkick dan berkumpul di depan pintu masuk kantor. Tak lama Ian Hogarth, CEO Songkick keluar menyambut kami dan memberitahu bahwa tempat meeting sudah di set untuk jam 11 AM tepat. Kami tiba lebih cepat 15 menit, dan karena tidak ada tempat untuk menunggu maka kami turun lagi ke bawah dan duduk-duduk di coffee shop kecil di seberang jalan. Setelah menunggu, kami kembali ke atas 15 menit kemudian. Detil kunjungan kami ke Songkick bertemu dengan Ian Hogarth saya tulis dan bisa dibaca lewat link ini.
Waktu pertemuan kurang lebih sejam tidak terasa lama karena bincang-bincang sangat padat. Segera setelah selesai kami bertukar kartu nama dan mengambil beberapa foto kemudian bergegas turun karena kami harus ke lokasi kunjungan berikutnya. Dari kantor Songkick kami berjalan kaki ke stasiun kereta Hoxton. Dari situ naik Northern Line menuju stasiun Chalk Farm. Keluar kereta, di stasiun bawah tanah kami harus naik tangga yang cukup curam. Keluar stasiun, di sebelah kanan sudah terlihat bangunan Roundhouse yang bentuknya seperti namanya, bundar.
Community Building di Roundhouse
Kebanyakan orang, termasuk saya, mengenal Roundhouse karena iTunes Festival sering diadakan di sana. Tapi memang itulah kualitas dari lokasi konser ini dikenal, sangat tinggi, hingga Apple mau melaksanakan event musiknya di sana. Sesampai di Roundhouse, rombongan YCE dan British Music dipisah. Rombongan YCE, termasuk saya, ditemani oleh Oliver Kluczewiski, Music Programme Producer di Roundhouse untuk berkeliling melihat fasilitas dan bercerita apa saja yang dilakukan di sana. Roundhouse ada untuk membina musisi berumur 11-25 tahun. Lewat fasilitas yang ada di tempat ini, musisi yang serius ingin membina masa depan bermusik bisa mendapat banyak pembinaan di sini.
Selain Oliver, banyak juga staff yang bisa membantu para musisi untuk mencari ilmu, baik di studio latihan, studio rekaman, studio editing video, ruang live streaming, ruang brainstorming hingga ruang konsultasi karir. Tempat ini sangat krusial untuk pembinaan komunitas musik di London, karena bisa membuat anak muda tetap berminat menjadi musisi. Pembiayaan tempat yang berlokasi di pinggir jalan ini dikelola dengan baik lewat penyewaan ruang konser, sponsorship hingga donasi.
Sambil membawa kami berjalan dari ruangan satu ke ruangan lainnya, Oliver juga bercerita ambisinya untuk terus membangun dan mengembangkan komunitas musisi muda berbakat yang bisa melanjutkan karirnya di industri kreatif, terutama di sektor musik, bukan hanya di UK tapi juga menjadi musisi asal UK yang bisa menembus tingkat global.
Saya sangat terkesan. Tempat ini spesial. Benar-benar spesial.
Selesai berkeliling, kami berkumpul sebentar di Roundhouse bar untuk rehat sejenak. Saya sempat ke dekat kulkas tempat mereka memajang minuman dan melihat bir yang tersedia. Tidak ada merk bir yang saya kenal. Akhirnya saya minta saran bir apa yang rasanya mirip Corona, dan saya ditawariModelo. Sementara rombongan briefing dan saling bertukar pendapat mengenai apa yang mereka lihat di Roundhouse, saya nenggak bir dingin dari Meksiko.
Sekitar 10 menit kemudian kami merasa sudah cukup rehat, dan melanjutkan perjalanan. Kami kembali ke stasiun Chalk Farm dan naik kereta menuju King’s Cross menggunakan Northern Line. Dari stasiun King’s Cross, kami naik bis ke Tileyard Studios dan menempuh perjalanan sekitar 10 menit.
Creative Co-Spaces ala Tileyard Studios
Ketika diberi tahu pertama kali soal kunjungan ke Tileyard Studios, saya ngga ngeuh apa itu. Tidak terbayang. Lagipula ini adalah kunjungan terakhir di hari ke 3 trip ke UK. Badan sudah lelah setelah mengunjungi 2 tempat. Jadi di perjalanan, saya tidak berharap apa-apa.
Turun dari bis, kami langsung berjalan menuju sebuah cafe bernama Notes dan menikmati makan siang. Tak lama setelah makan siang selesai, datang Nick Keynes, orang yang paling bertanggung jawab atas kesuksesan Tileyard Studios di 2 tahun terakhir. Rombongan pun memperkenalkan diri satu persatu yang disambut dengan perkenalan singkat Nick dan cerita awal berdirinya Tileyard hingga sekarang.
Berlokasi di tengah Kings Cross London, saat ini Tileyard dikenal sebagai creative hub yang paling baru dan paling penting di seluruh Eropa. Tileyard menjadi rumah bagi banyak nama terkenal di industri kreatif termasuk bidang musik dengan profesi sebagai musisi, komposer, penulis lagu, produser dan artis, juga bisnis kreatif lain seperti pengembang aplikasi dan digital agency.
Bentuknya seperti komplek ruko, di dalamnya ada sekumpulan ruang berisi studio yang diisi oleh studio rekaman, studio mixing dan mastering, vinyl mastering, hingga kantor artis management dan pengembang aplikasi.
Lebih jauh Nick juga menjelaskan bahwa Tileyard meladeni permintaan studio dengan kustomisasi sesuai permintaan. Yang mereka minta adalah komitmen untuk menyewa studio selama 5 tahun di Tileyard. Janji dari manajemen adalah, bahwa dengan menyewa kantor di sana, maka bisnis akan berkembang karena jadi dekat dengan bisnis lainnya. Dan di bawah, di cafe Notes itulah biasanya orang-orang yang berkantor di komplek tersebut bertemu untuk ngobrol ringan yang banyak berujung menjadi kolaborasi antar bisnis. Sejujurnya, hingga titik penjelasan ini saya masih belum ngeuh. Saya sudah lihat The Hub di Singapore, saya sudah melihat co-working space di Jakarta. Tapi ini bukan seperti itu.
Apa keistimewaannya?
Akhirnya Nick mengajak rombongan untuk ke lantai atas gedung studio terdekat dari restaurant dan bersama naik. Saat itu Ben Langmaid, seorang music producer yang berkantor di Tileyard, sedang keluar kantor. Jadi Nick mengajak untuk melihat studio nya. Pertama membuka pintu, saya melihat sebuah project studio yang kumplit dengan interior yang unik. Oh! Saya baru ngerti Nick dari tadi ngomong apa.
Pertanyaan berikutnya adalah, jika ada bisnis yang bangkrut sebelum masa 5 tahun, apa yang Tileyard lakukan. Apakah membantu mencari investor? Nick menjawab bahwa selama 3 tahun dia mengelola tempat tersebut, tidak ada bisnis yang bangkrut. Malah, semua bisnis semakin berkembang karena banyak terjadi kolaborasi. Dia memberi contoh ada seorang drummer yang tinggal di kompleks tersebut. Dia memang sangat terampil main drum. Awalnya hanya orang biasa saja, sampai akhirnya semua bisnis di situ menggunakan jasanya setiap kali butuh drummer. Sekarang studionya sudah semakin besar, masih di lokasi yang sama.
Kunjungan terakhir di lokasi ini yang sangat berkesan adalah Gearbox Records yaitu perusahan rekaman yang juga memiliki fasilitas vinyl mastering.
Darrel Sheinman, pemilik dan producer perusahaan yang fokus pada bisnis mastering dan distribusi vinyl ini menjelaskan bagaimana mereka menjalankan bisnisnya yang mencakup distribusi ke seluruh Eropa dan mulai masuk ke Asia yaitu ke Cina dan Jepang. Mereka senang sekali mendengar bahwa pasar pengguna vinyl juga sedang berkembang di Indonesia. Di salah satu dinding studio mereka, ada koleksi vinyl dari Blue Note records. Darrel bilang, koleksi mereka itu adalah salah satu koleksi terlengkap di UK.
Selesai mengunjungi studio ini, kami menuju ke lantai bawah ke Event Space. Di sana kami semua berkumpul dan membuat diskusi tentang Live Music industry di UK dan Eropa. Yang memandu dan menjadi narasumber adalah Claire O’Neill, Senior Manager dari AIF (Association of Independent Festivals). Pada kesempatan ini juga saya memperkenalkan ide-ide yang saya punya untuk mengembangkan industri live music di Indonesia dari sisi digital bersama Musikator. Peserta lain juga menggunakan kesempatan untuk sharing keadaan bisnis festival di tempat asal mereka.
Selesai diskusi kami beramah tamah sambil minum bir. Dan setelah selesai kami kembali ke hotel. Karena bis lama tak kunjung datang juga, akhirnya kami memutuskan berjalan kaki ke stasiun kereta Kings Cross. Sesampai di sana rombongan berpencar. Ada yang pulang, ada yang kembali ke hotel, ada yang lanjut ke tempat lain. Saya ikut dengan rombongan Malaysia, Adrian dan Rahul. Terakhir Dominique dari Afrika Selatan bergabung juga. Kami ke restoran Meksiko di dekat The Groucho Club yang kemarin kami kunjungi. Jadi kami naik kereta lewat Picadilly Line dan turun di Leicester Square. Dari stasiun kami berjalan sedikit dan tiba di La Bodega Negra.
Saya kurang paham masakan Meksiko jadi saya meminta rekomendasi dari waiter. Hasilnya adalah makanan di bawah ini. Rasanya enaaaaaaaak banget!
Sambil makan kami ngobrol-ngobrol ringan. Dominique dan Rahul bahkan sempat akan membuat projek mendatangkan rapper kondang dari Amerika ke Afrika Selatan. Nice. Sekitar jam 9 malam, kami pun pulang menuju hotel. Adrian dan Rahul yang dari delegasi British Music akan mengalami hari yang menyenangkan esoknya karena mereka akan berangkat ke Brighton duluan. Sementara itu Saya dan Dominique harus melewati co-coaching day dulu seharian di kantor British Council besok. Jadi dari situ saya memutuskan langsung pulang ke hotel dan masuk kamar. Sisanya melanjutkan perjalanan ke bar dan menikmati malam di London.
Life is good.
0 thoughts on “UK Trip dengan British Council – Hari 3”