Kemarin, hari Minggu 6 Juli 2014, saya diminta berbagi masalah industri musik Indonesia di acara Indonesia Kreatif. Ini adalah kelanjutan projek Cetak Biru Industri Musik Indonesia dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Acara yang berjudul We Share and Care: Mau Dibawa Kemana Ekonomi Kreatif Indonesia tersebut diadakan di Galeri Fatahilah, Jakarta. Selain saya, ada praktisi-praktisi lain yang mewakili ekonomi kreatif dari subsektor lain yaitu Taruna Kusmayadi (Mode), Bondan Winarno (Kuliner), William Kwan (Kerajinan), Hafiz Rancajale (Seni Rupa) dan Yudi A. Tajudin (Seni Pertunjukan).
Skenario presentasinya diawali oleh tim studi cetak biru, yang memberikan gambaran hasil diskusi dengan praktisi yang outcome-nya adalah buku cetak biru. Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan dari perwakilan praktisi, sehubungan dengan keadaan industri di Indonesia dan buku cetak biru itu sendiri. Tim studi diwakili oleh Fikri, praktisi oleh saya. Hadir pula tim pom-pom yaitu David Karto dari Demajors dan Widi Asmoro dari Microsoft yang juga bagian dari tim FGD musik, serta Yulius dari Bottlesmoker.
Pembukaan
Setelah Fikri memberi paparan singkat tanpa slide karena masalah teknis, saya melanjutkan dengan presentasi yang saya beri judul “Musik Indonesia Untuk Semua“. Saat ini musik Indonesia hanya untuk orang tertentu saja. Saya, seperti banyak orang Indonesia lainnya, punya mimpi suatu hari bisa kejadian bahwa musik yang kita buat bisa dikonsumsi oleh semua orang, tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia.
Saya yakin ini bisa kita lakukan, tinggal masalah menyusun strategi, mengeksekusinya dan bersabar. Sumber daya dan potensi yang kita miliki terlalu besar dan terlalu kuat untuk tidak sukses. Tidak ada yang bisa menghentikan kita, kecuali, kebodohan kita sendiri.
Misi
Kita sedang punya misi, yaitu meningkatkan produksi hingga konsumsi musik Indonesia. Caranya? Diawali dengan membuat peta industri. Dari peta tersebut akan mudah mengidentifikasi masalah dan peluang dan merancang strateginya.
Tantangan
Setelah berembuk melalui 3 FGD, kami menemukan 6 tantangan (sebenarnya ada 7 di buku cetak biru, tapi yang relevan dengan yang saya bahas ada 6), yaitu:
- Sumber daya
- Wirausaha Kreatif
- Iklim Usaha
- Teknologi
- Pembiayaan
- Perluasan pasar
Permasalahan-permasalahan di atas kurang lebih dihadapi juga oleh sektor lainnya. Jadi bisa disebut bahwa masalah-masalah tersebut valid, kecuali, semua sektor salah mengidentifikasi masalahnya di industri masing-masing.
Benchmark
Awal Mei lalu, saya mengunjungi Inggris untuk mengobservasi industri musik di sana. Kunjungan saya didanai oleh pemerintah Inggris, lewat British Council. Dari kunjungan tersebut, saya menemukan 3 model yang bisa dijadikan benchmark oleh industri musik Indonesia sehubungan dengan tantangan yang sekarang sedang kita hadapi. Di UK, industri bersama stakeholder musik sudah menemukan solusinya dan menjalankannya selama beberapa puluh tahun terakhir.
Meski tidak bisa memecahkan semua masalah dan mengoptimasi peluang yang kita dapat, tapi banyak pelajaran yang didapat dari sana.
- Community Building di Roundhouse, berkaitan dengan masalah sumber daya dan pengembangan wirausaha kreatif yang berdaya saing.
- Event Showcase di The Great Escape festival and convention, berkaitan dengan masalah pembiayaan dan perluasan pasar.
- Collaboration di Tileyard Studios bisa membantu iklim usaha yang inovatif dan pengembangan teknologi.
Community Building
Di Roundhouse, musisi aspiratif muda berumur 11-25 tahun (sumber daya) diberi pengalaman pra-karir dan bimbingan untuk berinovasi dalam bermusik (wirausaha kreatif). Detil cerita pelajaran yang saya dapat dari Roundhouse ada di artikel di link ini.
Showcase
The Great Escape festival & conference, adalah tempat musisi baru mempertunjukkan musiknya. Pendatang tidak hanya penggemar, tapi juga label, distributor, booking agency (perluasan pasar) dan investor (pembiayaan) dari seluruh penjuru dunia. Detil kunjungan saya ke TGE ada di link ini, link ini, dan link ini.
Collaboration
Di Tileyard Studios, pengusaha musik berkolaborasi dan menciptakan lingkungan yang mendukung menciptakan iklim usaha kolaboratif dan berbagi teknologi. Detil kunjungan saya ke Tileyard Studios ada di link ini.
Apa yang membedakan industri musik di Indonesia dan Inggris? Kuncinya? Mindset! Mereka fokus membangun:
- Talenta baru
- Musik baru
- Inovasi baru
Pembangunan 3 hal tersebutlah yang menghasilkan banyak sekali mega superstar di UK selama beberapa dekade terakhir. Tapi talenta baru, musik baru, inovasi baru tidak tumbuh dengan sendirinya. Harus ada pihak yang mau membangun. Di Indonesia tinggal siapa yang duluan mau membangun. Pemerintah? Industri? atau Komunitas musik yang perduli?
Masa depan ada di tangan kita sendiri. Let’s work!
0 thoughts on “Membandingkan Industri Musik Indonesia dan Inggris”