Mengapa Saya Abstain

Semakin banyak orang yang mencoba memanipulasi demokrasi dan menyebarkan pikiran bahwa “Jika Anda tidak memilih, maka Anda tidak berhak berpendapat.” Ini pembodohan publik dan pendidikan politik yang buruk.

Akhir-akhir ini semakin banyak orang yang mencoba memanipulasi demokrasi dan menyebarkan pikiran seperti ini:

Jika Anda tidak memilih, maka Anda tidak berhak berpendapat.

Ini pembodohan publik dan pendidikan politik yang salah. Orang Abstain berhak berpendapat. Bahkan, orang Abstain bisa ikut memperbaiki nasib bangsa. Tidak ada hubungannya dengan siapa yang dia pilih. Atau apakah dia memilih atau tidak.

Pertama dan terakhir kalinya saya ikut pemilu adalah beberapa puluh tahun yang lalu, waktu saya pertama kali mendapat hak pilih. Prosesnya sederhana sekali. Saya pergi ke kantor papah (almarhum, beliau adalah seorang profesor dan pegawai negeri), masuk ke sebuah ruangan yang ditutup kain, coblos Golkar, keluar dan hasil coblosan saya masukkan ke sebuah kotak. Beberapa jam kemudian, di rumah, ada berita bahwa Golkar menang. Ya iyalah. Kita semua tahu apa yang terjadi di jaman itu.

Trauma ya? Tidak. Saya tidak perduli.

Nasib Bangsa Bukan Hanya di Tangan Pemimpin

Akhir-akhir ini, orang semakin perduli dengan hasil Pemilu. Karena menurut mereka, dapat merubah nasib bangsa. Di satu sisi ini baik, karena orang mulai sadar hak (bahwa mereka bisa memilih). Tetapi saya tahu, bahwa pimpinan yang tepat saja tidak cukup.

Contoh paling mutakhir adalah Jokowi dan Ahok. Menurut saya duo pimpinan ini memberikan tantangan yang berarti kepada orang-orang yang selama ini apatis terhadap pemerintah. Termasuk saya.

Bersama team, saya pernah bertemu dan makan siang dengan Pak Ahok. Dari cara staff-nya memperlakukan tamu, terasa sekali mereka adalah staff yang terlatih dan memiliki prosedur yang solid. Bertemu dengan Pak Ahok lebih seperti akan bertemu dengan pimpinan perusahaan daripada bertemu dengan pimpinan pemerintahan.

Saya bandingkan dengan suasana di istana Presiden, isinya bleh… Yang saya rasakan adalah bertemu dengan sekelompok orang yang sudah terbiasa… bikin babeh senang.

Contoh lain adalah Ridwan Kamil, walikota Bandung. Banyak yang bilang dia bagus. Meski di mata saya memiliki prestasi walikota Bandung paling hitam sepanjang sejarah dengan membiarkan jam malam terjadi di Bandung (iya, bukan beliau yang buat. Dan ini, dan itu…), RK akan selamanya memiliki prestasi emas di mata saya karena dibawah pimpinannya, Pemkot Bandung membuatkan skatepark untuk umum.

Dengan pimpinan seperti Jokowi – Ahok, bagaimana Anda melihat Jakarta? A fuck shit up city. Bandung dibawah Ridwan Kamil? A total clusterfuck. Tentu, sekarang memang sedang dibenahi oleh beliau-beliau dan team-nya.

Tapi apakah itu saja cukup? Tidak mungkin semua dikerjakan oleh mereka. Sebenarnya yang tak kalah penting buat saya adalah tumbuhnya kepemimpinan non-formal di masyarakat. Siapa mereka? Mereka adalah pimpinan-pimpinan komunitas. Bagaimana mereka bisa tumbuh? Salah satunya adalah lewat pendidikan politik yang baik (bukan dengan membuat fitnah bahwa orang Abstain tidak berhak berpendapat!).

Swadaya Sama Pentingnya

Ada contoh. Seperti minggu lalu, weekend ini saya kembali ke Bandung untuk main skateboard. Semen di lantai tempat bermain rusak, padahal baru umur skatepark belum usai 3 bulan. Pertama kali lihat saya langsung komplen. Semua tahu skatepark ini adalah inisiatif Pemkot Bandung dan mereka sudah memiliki kontraktor yang punya tanggung jawab untuk melakukan pemeliharaan. Sahabat saya Tiko dan Eric sempat terjatuh karena roda skate tersandung kerikil dari pecahan semen. Untung mereka tidak apa-apa. Melihat kejadian tersebut saya sempat berpikir, bagaimana jika kedua teman saya itu sampai celaka? Bagaimana kalau mereka sampai patah tulang? Siapa yang akan menggantikan mereka bekerja dan mencari nafkah?

Pertanyaan tadi tidak akan keluar jika tidak ada kerikil yang disebabkan kelalaian pihak pengelola skatepark. Jadi siapa yang harus disalahkan? Pemerintah Kota Bandung kah? Atau Tiko dan Eric karena mereka bermain skateboard? Bermain skateboard itu memang pilihan mereka. Tapi, mereka bermain di fasilitas umum yang pengelolanya lalai. Jadi, masalahnya jelas.

Sekarang, masak masalah segitu saja skateboarder Bandung harus menuntut Pemerintah Kota Bandung? Ya bisa saja. Tapi itu kan tidak praktis. Disinilah pemimpin komunitas berfungsi. Gampang banget, tinggal ada 1 orang seperti Robby yang memberikan ide untuk patungan, pasti semua tak berpikir dua kali untuk menyumbang. Uang terkumpul, beli semen, sewa tukang. Skatepark pun ditambal.

Masalah selesai?

Skatepark mulus lagi, tapi masalah sebenarnya belum selesai. Karena yang menyelesaikan masalah bukan pemilik tanggung jawab, bukan Pemkot Bandung. Tapi, skatepark sudah diperbaiki. Yang main skate kembali menikmati kenyamanan semen mulus. Tidak ada lagi yang jatuh bodoh. Sekarang coba implementasikan pola ini di jalan di depan rumah yang tidak mulus. Pertanyaannya, berapa kilometer jalanan yang bisa diperbaiki secara swadaya?

Jadi, buat apa ada pemerintah? Ya guna pemerintah adalah menjadi pemerintah. Sesuai dengan apa yang dilakukan dan diharapkan oleh pemilih. Jika Anda memilih untuk memilih dan mencoba mempertahankan orang yang Anda pilih selama periode berkuasa, silahkan. Tapi saya lebih memilih untuk memperbaiki lingkungan saya bersama sahabat-sahabat saya. Buat saya, hasilnya lebih nyata.

Author: Robin

Jack of all trades living in SF Bay Area, California. Asian.

0 thoughts on “Mengapa Saya Abstain”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *